Pada mulanya untuk menghiasi buku, vinyet populer setelah media massa menyediakan ruang khusus. Vinyet menjadi media ekspresi para remaja dan mengasah kepekaan estetika para pelukis.
DARI tarikan garis lengkung, terbentuklah sebuah wajah. Munadi HP, pelukis berusia 52 tahun, lalu menambahkan ornamen pada bidang gambarnya. Ada rambatan ranting-ranting pohon lengkap dengan daunnya, atau sekadar titik-titik dan garis-garis meliuk yang memperkuat unsur dekoratif pada gambar.
“Vinyet itu intinya sebuah gambar yang mengutamakan unsur dekoratif. Tak ada muatan tema tertentu pada vinyet, lebih menitikberatkan pada sisi estetis saja,” kata Munadi.
Munadi mulai menggambar vinyet pada 1981 saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia aktif mengirimkannya ke media. “Pada 1980-an, sebagian besar media memiliki kolom khusus vinyet. Kalau untuk ukuran remaja seperti saya, asal karya dimuat rasanya bangga sekali. Tak ada honorarium pun tak terlalu masalah. Vinyet saat itu bisa dibilang menjadi media ekspresi anak-anak remaja, terutama di bidang seni.”
DARI tarikan garis lengkung, terbentuklah sebuah wajah. Munadi HP, pelukis berusia 52 tahun, lalu menambahkan ornamen pada bidang gambarnya. Ada rambatan ranting-ranting pohon lengkap dengan daunnya, atau sekadar titik-titik dan garis-garis meliuk yang memperkuat unsur dekoratif pada gambar.
“Vinyet itu intinya sebuah gambar yang mengutamakan unsur dekoratif. Tak ada muatan tema tertentu pada vinyet, lebih menitikberatkan pada sisi estetis saja,” kata Munadi.
Munadi mulai menggambar vinyet pada 1981 saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia aktif mengirimkannya ke media. “Pada 1980-an, sebagian besar media memiliki kolom khusus vinyet. Kalau untuk ukuran remaja seperti saya, asal karya dimuat rasanya bangga sekali. Tak ada honorarium pun tak terlalu masalah. Vinyet saat itu bisa dibilang menjadi media ekspresi anak-anak remaja, terutama di bidang seni.”
Melalui vinyet, orang bisa menulis pesan tentang cinta atau kerinduan atau semangat perlawanan. Ia jadi media pengungkapan diri hingga aktualisasi. Beberapa media memberi ruang vinyet antara lain Pos Kota, Hai, Prisma, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, dan Suara Karya. Karya seperti apa yang dimuat tergantung kebijakan redaksi masing-masing media.
“Pos Kota, mungkin karena tak ada honorariumnya, lebih mudah ditembus. Sedangkan majalah Hai lebih selektif; yang dimuat umumnya karya mahasiswa seni, tarikan garisnya terasa lebih kuat. Prisma sering memuat karya para pelukis,” ujar Munadi.
Menurut Bambang Bujono, mantan redaktur senior majalah Trust dan kritikus seni rupa, vinyet mulai populer di Indonesia pada 1970-an, yang ditandai dengan hadirnya ruang remaja di media. Aktuil salah satunya. “Seingat saya majalah Aktuil salah satu media yang cukup serius memberikan perhatian pada vinyet, dengan menyediakan 1-2 halaman,” kata Bambu, sapaan akrab Bambang Bujono.
Majalah sastra macam Horison juga menyediakan ruang untuk vinyet. Pelukis senior Sri Warso Wahono sering mengirimkan karyanya. “Tahun 1970-an vinyet saya sering dimuat di Horison. Honorariumnya 2.500 rupiah, nominal yang cukup besar saat itu,” katanya. Dengan honor itu Sri Warso bisa mentraktir makan teman-temannya.
Bermula dari Ganjal Ruang
Kata vinyet berasal dari bahasa Prancis, vignette, yang berarti anggur. Secara estimologis ia berarti sebuah gambar yang dilingkupi sulur dan daun anggur. Pada mulanya ia dipakai untuk menghiasi buku-buku pada abad pertengahan, kemudian jadi pembingkai gambar, dan akhirnya jadi gambar tersendiri.
“Vinyet itu ornamen dekoratif penghias buku yang dicetak. Bentuknya kecil. Ornamen awal yang digunakan daun anggur, kemudian mulai berkembang dengan mengambil ornamen lain seperti hewan, tumbuhan, manusia, dan bentuk benda lain,” kata kurator seni Merwan Yusuf.
Dalam perkembangannya, vinyet menjadi pengisi dan penghias ruang kosong yang menyegarkan mata pada halaman buku, majalah, atau koran. Dari sekadar “ganjal” ruang kosong, media kemudian menyediakan ruang khusus untuk memuat karya vinyet. “Pada 1950-an, yang mengisi malah para pelukis. Gambarnya bukan sekadar ornamen dekoratif biasa, tapi sudah mengarah ke sketsa realis,” kata Bambu.
Salah satu pelukis Indonesia yang jago bikin vinyet adalah Oesman Effendy. Dia bahkan sudah memulainya di masa kolonial. Dia pernah memenangi lomba lukis vinyet di Batavia, mengalahkan para pelukis Belanda. Sejumlah vinyetnya dimuat di majalah kebudayaan Zenith (edisi kebudayaan majalah Mimbar Indonesia), Budaya, Budaya Jaya, dan Indonesia yang terbit 1947 hingga 1970-an.
Salim, pelukis maestro lainnya, membuat banyak vinyet dan ilustrasi untuk penerbitan buku-buku sastra Prancis seperti karya Guy de Maupassant dan Valery Larbaud, ketika tinggal di Paris pada masa Perang Dunia II. Beberapa vinyetnya dimuat majalah seni dan budaya yang terbit di Belanda seperti Kroniek van Kunst en Cultuur, Podium, dan Criterium.
“Dulu, rata-rata pelukis pasti pernah membuat vinyet. Ada pelukis Delsi Syamsumar, Batara Lubis, Maksum Siregar, bahkan pengarang Motinge Busye aktif membuat vinyet,” kata Sri Warso. “Kalau saya, mungkin juga pelukis-pelukis lain, membuat vinyet itu jadi latihan untuk mengasah kepekaan estetik. Karena di vinyet unsur estetis sangat diutamakan.”
Harian Rakjat, surat kabar resmi Partai Komunis Indonesia, juga kerap memuat karya-karya vinyet di rubrik “HR Muda”. Karya-karya yang dimuat tak sekadar menampilkan gambar dekoratif, tapi juga memiliki tema tertentu. Seperti karya Tan Tjo Liong yang bertemakan “Membangun”, dimuat 13 Juli 1961. Atau karya Noer As yang bertemakan “Petani” dan “Wanita dan Perdamaian”, dimuat 2 September 1961.
Terkait kepopuleran vinyet saat itu, Firman Lie, pengajar desain grafis Institut Kesenian Jakarta, mengatakan hal tersebut tak lepas dari kondisi dunia penerbitan dengan teknik dan peralatan cetak sederhana. “Yang paling memungkinkan supaya proses cetak bisa cepat ya menggunakan vinyet, karena ia kan hanya sekadar penghias, bebas, tidak ada keterikatan dengan teks. Karena bebas jadi bisa distok,” kata Firman.
Menurut Firman, para pelukis terlibat dalam menggarap vinyet tak lain karena ruang berekspresi terbatas. “Dulu kan galeri sangat terbatas. Tidak mudah bagi para pelukis untuk bisa berpameran. Yang relatif mudah ya lewat media. Hanya perkara membaca ruang saja,” katanya.
Namun, “Karena bayarannya kecil dan seperti kerja selingan saja, tidak ada pelukis yang secara khusus mendalami vinyet. Bagi pelukis, itu hanya dasar latihan menggambar,” kata Merwan.
Meredup
Menggambar vinyet relatif mudah. Hanya butuh kertas atau kanvas dan alat menggambar seperti pena, spidol atau tinta cina –karena umumnya vinyet menggunakan warna hitam-putih. “Saya dulu pakai pena tajam yang matanya dicelupkan ke tinta,” kata Munadi.
Vinyet mengalami masa keemasan pada 1970 dan 1980-an. Ia bahkan muncul dalam desain kaos atau dipakai sebagai logo. Uniknya, ada pula yang memakainya sebagai sarana menyembunyikan kode buntut. Namun, pamornya mulai meredup setelah muncul beragam perangkat unak (software) komputer yang bisa mengatasi problem ruang kosong pada majalah atau surat kabar.
“Ya, fungsinya kan memang sebagai pengisi ruang kosong atau ‘ganjal ruang’. Ketika permasalahan ruang kosong itu bisa diatasi ya sudah, tidak dibutuhkan lagi,” kata Sri Warso.
“Memasuki pertengahan 1990-an ruang remaja di media-media sudah tidak ada lagi. Sejak itu vinyet pun turut menghilang. Bisa jadi karena dianggap tidak ‘menghasilkan’,” kata Bambu.
Hanya sedikit majalah yang masih menyediakan ruang untuk vinyet. Itu pun bukan media mainstream, sehingga tak membantu perkembangan vinyet. Namun, pengaruh vinyet tak hilang begitu saja. Ia menjadi elemen dalam seni lukis. Salah satu karya pelukis Widayat berjudul “Hutan dan Kehidupannya”, misalnya, bergaya vinyet.
“Vinyet saya rasa akan tetap ada, sebagai pengaruh dari semangat retro. Ia memang tidak berdiri sendiri lagi, tapi sudah menjadi elemen seperti dalam stiker atau seni lukis,” kata Bambang Asrini Widjanarko, kurator dan penulis seni rupa.*
Sumber gambar vinyet Zenith (1952), Harian Rakjat (1961) dan Prisma.