Koesoediarso Hadinoto bertatap muka dengan para penderita gondok di Jawa tengah, 1980. (Repro Sang Kolonel, Sang Ilmuan).
Aa
Aa
Aa
Aa
ADA yang berbeda di Desa Ngepos, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tahun 1972. Hampir seluruh warganya menderita penyakit gondok. Di leher mereka terdapat benjolan; bahkan ada yang sebesar kepalan tangan orang dewasa. Orang-orang menyebutnya penyakit gondok, gangguan akibat kekurangan yodium.
Pihak kesehatan kabupaten segera melakukan survei. Hasilnya, warga yang tidak terjangkit penyakit gondok umumnya berdiam di kota. Achmad, bupati Magelang, cemas. Kepada Kompas, 18 September 1972, dia mengatakan penyakit gondok akan melemahkan generasi karena menghambat perkembangan anak.
Desa Ngepos berada di kaki Gunung Merapi. Air pegunungan yang diminum warga kurang mengandung zat yodium. Ini karena daerah pegunungan umumnya miskin yodium karena lapisan tanah paling atas yang mengandung yodium terkikis dari waktu ke waktu. Artinya, masyarakat pegunungan rentan terkena gondok daripada masyarakat di dataran rendah.
ADA yang berbeda di Desa Ngepos, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tahun 1972. Hampir seluruh warganya menderita penyakit gondok. Di leher mereka terdapat benjolan; bahkan ada yang sebesar kepalan tangan orang dewasa. Orang-orang menyebutnya penyakit gondok, gangguan akibat kekurangan yodium.
Pihak kesehatan kabupaten segera melakukan survei. Hasilnya, warga yang tidak terjangkit penyakit gondok umumnya berdiam di kota. Achmad, bupati Magelang, cemas. Kepada Kompas, 18 September 1972, dia mengatakan penyakit gondok akan melemahkan generasi karena menghambat perkembangan anak.
Desa Ngepos berada di kaki Gunung Merapi. Air pegunungan yang diminum warga kurang mengandung zat yodium. Ini karena daerah pegunungan umumnya miskin yodium karena lapisan tanah paling atas yang mengandung yodium terkikis dari waktu ke waktu. Artinya, masyarakat pegunungan rentan terkena gondok daripada masyarakat di dataran rendah.
Kekurangan yodium sebenarnya bisa diakali dengan penggunaan garam beryodium. Tapi, tidak semua garam memiliki kandungan yodium. Jika pun ada, mempertahankan yodium dalam garam bukan hal gampang.
“Begitu sulitnya mempertahankan yodium di dalam garam karena yodium dalam garam akan menguap bila terkena matahari atau akibat terlalu lama disimpan,” ujar Koesoediarso Hadinoto, direktur jenderal Aneka Industri Departemen Perdagangan (1978–1983), dalam biografinya, Sang Kolonel, Sang Ilmuan yang ditulis Ahmad Gaus dan Ade Buchori. Koesoediarso adalah salah satu penggagas kampanye garam beryodium. Maka, dia mendapat julukan “Dirjen Gondok.”
Bukan hanya di Magelang, wabah penyakit gondok juga menyerang beberapa wilayah pegunungan di Papua, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Bali. Maka, pemerintah pun bergerak cepat untuk mengatasinya.
Dr. Suriadi Gunawan memeriksa penderita gondok di Bilorai, Papua. (KITLV).
Membesarnya Kelenjar Tiroid
Penderita gondok gampang dikenali. Si penderita mengalami pembengkakan di leher. Bukan leher yang membesar, tapi kelenjar tiroid. Posisi kelenjar tiroid berada di depan, di bawah kotak suara. Para ahli kesehatan menyebutnya “Gangguan Akibat Kekurangan Yodium” (GAKY), istilah yang disepakati sejak 1970-an untuk menggantikan “gondok endemik”.
Pembengkakan kelenjar tiroid bukanlah hal baru. Ia sudah ditemukan sekitar 2700 SM di Tiongkok. Yodium sendiri sudah ditemukan Bernard Courtois, kimiawan Prancis, tahun 1811. Namun, pengobatan gondok menggunakan yodium diperkenalkan Jean Fancois Coindet, dokter dan peneliti asal Swiss, dalam laporannya berjudul Mémoire Sur la Découverte d’un Nouveau Remède Contre le Goître (Memori atas penemuan obat baru melawan gondok) pada 1820.
Di Nusantara, menurut Yuyus Rusiawati dan Sumengen Sutomo dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, keberadaan gondok terjejaki melalui tulisan yang terdapat pada prasasti di Bangli, Bali. Di masa kolonial, banyak penelitian yang menunjukkan adanya gondok endemik di berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Irian Jaya.
“Prevelensi gondok di berbagai kepulauan baik di Jawa dan luar Jawa sangat tinggi berkisar antara 41-90%,” tulis Yuyus Rusiawati dan Sumengen Sutomo dalam artikel “Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium di Indonesia”, dimuat jurnal Cermin Dunia Kedokteran, Juni 1993.
Untuk mengatasinya, pada 1927 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang mengharuskan yodisasi garam. Pemerintah juga mendistribusikan garam beryodium ke sejumlah daerah endemik. Untuk keperluan itu, pemerintah melakukan monopoli produksi garam di Pulau Madura.
Monopoli garam kemudian dihentikan ketika Indonesia merdeka. Produsen garam pemerintah, P.N. Garam, tak lagi memproduksi garam beryodium. Praktis, untuk memenuhi kebutuhan garam, Indonesia mengimpor dari India dan Australia.
“Agak mengherankan karena negara kita adalah kepulauan yang dikelilingi lautan mahaluas. Tapi itu fakta. Maka yang bisa dilakukan adalah membuat peraturan bahwa semua garam yang diimpor harus garam yang mengandung yodium,” kata Koesoediarso. Maka, ketika tak ada produksi garam dalam negeri, wabah gondok kembali muncul.
Menurut Yuyus Rusiawati dan Sumengen Sutomo, survei anak sekolah di Jawa Timur pada 1966 melaporkan prevelensi gondok 25-95%. Lima tahun kemudian, dari 6.703 anak sekolah di 46 SD di 39 desa di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Timur terdapat 62,2-89,4% menderita gondok.
Masalah kian pelik ketika banyak pejabat daerah menyembunyikan kasus di daerahnya. Ini dialami Koesoediarso saat mengunjungi berbagai daerah di Indonesia.
Suatu hari, Koesoediarso pergi ke Kudus. Kepada bupati setempat, dia menanyakan perihal gondok. Sang bupati menjawab bahwa di daerahnya tidak ada yang menderita gondok. “Ternyata para penderita gondok itu sengaja disembunyikan oleh pemerintah daerah. Dan fenomena itu (menyembunyikan para penderita gondok) terjadi di hampir semua daerah Indonesia,” ujar Koesoediarso.
Untuk menanggulanginya, pemerintah mengambil langkah strategis. Program jangka pendek melalui suntikan larutan minyak beryodium (lipiodol) di daerah endemik berat dilaksanakan Departemen Kesehatan. Sementara program jangka panjang melalui fortifikasi (pencampuran yodium ke dalam garam sebelum dipasarkan) dan distribusi garam beryodium di semua daerah endemik dilaksanakan Departemen Perindustrian.
Pendanaan diperoleh melalui bantuan keuangan dari lembaga PBB untuk anak-anak (Unicef). Perjanjian kerjasama ditandatangani pada 25 Juni 1975. Dana pun mengucur. Misalnya, Unicef memberikan bantuan dana sebesar 5,9 juta dolar Amerika tahun 1977, 6,2 juta dolar (1978), dan 6,5 juta dolar (1979). Sebagaimana dikutip Kompas, 16 Juni 1977, P. Haxon sebagai perwakilan Unicef di Indonesia mengatakan bahwa proyek ini merupakan yang terbesar di dunia.
Pemerintah menggiatkan usahanya pada 1979 ketika gondok dan kretinisme melanda tidak kurang 10 persen dari jumlah penduduk. Penanganan gondok jadi program nasional dengan diberlakukannya Instruksi Presiden No. 20/1979, yang kemudian disempurnakan melalui Inpres No. 11/1980.
Pemerintah kemudian membentuk taskforce bernama Proyek Yodisasi Garam yang dikomandoi menteri koordinator kesejahteraan rakyat, membawahkan empat departemen terkait: departemen dalam negeri, perdagangan, kesehatan, dan perindustrian.
Petani garam. (kkpnews.kkp.go.id).
Dari Suntik Hingga Kapsul
Sebagai program jangka pendek, pemerintah mulai melakukan penyuntikan larutan minyak beryodium (lipiodol) pada 1974. Penyuntikan diberikan kepada penduduk risiko tinggi di daerah gondok endemik sedang dan berat. Ia juga diberikan kepada perempuan usia subur serta ibu hamil dan ibu menyusui dengan tujuan menghindari adanya kretin baru. Pada 1974/1975 tercatat 128.330 orang yang disuntik.
Lipiodol berasal dari asam lemak minyak biji Poppi yang berisi 475 mg yodium per ml. “Bahan ini murah, daya kerjanya lama, hampir bebas dari pengaruh sampingan, mudah dikerjakan oleh dinas kesehatan setempat dengan fasilitasnya, atau oleh kelompok-kelompok kecil,” kata J.B. Stanbury dari Departement of Nutrition and Food Science, Massachusetts of Technologi, Amerika Serikat, dalam “Gondok Endemis dan Kretinisma/Kerdil: Pentingnya untuk Kesehatan dan Pencegahannya”, dimuat jurnal Kesehatan Masyarakat edisi 12 tahun 1975. Menurut Stanbury, penyuntikan lipiodol sudah dilakukan di beberapa negara seperti Argentina, Ekuador, New Guinea, Peru, dan Zaire dan memiliki hasil yang baik.
Rupanya, lipiodol tidaklah seefektif yang digembor-gemborkan. Selain jumlahnya terbatas dan harganya ternyata mahal, penyuntikan lipiodol memerlukan tenaga terampil. Lipiodol juga memiliki efek samping berupa reaksi alergi, abses pada tempat suntikan, dan risiko penularan penyakit akibat penggunaan jarum suntik berulang-ulang. Maka, sejak 1992, lipiodol diganti dengan kapsul minyak beryodium.
Kapsul minyak beryodium mulanya didatangkan dari Prancis tapi kemudian, demi mengurangi biaya, diganti produksi dalam negeri, yakni yodiol produksi PT Kimia Farma. Yodiol dibuat dari kacang. Ia berhasil diujicoba pada kelompok orang normal di Semarang dan kelompok sasaran rawan gondok anak sekolah di Sengi, Magelang. Hasil ujicoba menunjukkan, ia tak kalah dari lipiodol yang punya reputasi internasional.
Kapsul didistribusikan kepada kelompok sasaran di daerah risiko tinggi: perempuan usia subur serta ibu hamil dan menyusui di daerah gondok endemik sedang dan berat serta anak sekolah dasar di daerah endemik berat.
Masalah baru muncul ketika diketahui kapsul minyak beryodium bisa menimbulkan masalah kelebihan yodium (hipertiroid). Maka, pada Juli 2009, Departemen Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat mengeluarkan surat edaran yang menghentikan pemberian suplementasi kapsul minyak beryodium.
Kendati tak lagi diberikan secara massal, kapsul minyak beryodium masih diberikan kepada perseorangan yang membutuhkan. Pemberiannya sama seperti memberi obat kepada pasien. Hal ini karena masih ada daerah rawan gondok. “Daerah pegunungan masih rawan gondok. Di Jawa Tengah seperti Pati, Madiun, Temanggung, masih,” kata Doddy Izwardy, direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan, kepada Historia. Saat ini, program penanggulangan GAKY dititikberatkan pada penggunaan garam beryodium untuk semua.
Menkes G.A Siwabessy bersama tiga orang penderita gondok, dan Gubernur Kalimantan Barat Kadarusno, di perbatasan Indonesia Serawak. (Repro Majalah Kesehatan No. 49 Tahun 1975).
Program Yodisasi Garam
Untuk program jangka panjang, Menteri Kesehatan G.A. Siwabessy mengambil langkah pertama dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Menteri Kesehatan Nomor 110 Tahun 1975 tentang Yodisasi Garam Konsumsi. Isinya: garam-garam yang dipasarkan harus mengandung yodium 40 ppm.
Salah satu langkah penting yang diambil pemerintah adalah proyek modernisasi atau renovasi di lahan penggaraman demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. P.N. Garam, sebagai badan usaha milik negara, berada di garda depan. Pada 1979, Menteri Perindustrian menunjuk P.N. Garam sebagai pelaksana atau pemborong (tanpa lelang) Proyek Yodisasi Garam.
P.N. Garam coba menjalin kerjasama dengan investor Prancis tapi gagal karena luas ladang garam tidak sesuai dan dianggap tidak layak. Setelah itu P.N. Garam menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda, yang bersedia menanamkan modal sebesar US$18.124.000 dan menunjuk Akzo Zout Chemis (AZC) sebagai konsultan proyek ini.
“Berbagai cara dilakukan oleh Akzo Zout Chemis, namun pada kenyataannya proyek modernisasi tersebut tidak pernah terwujud. Lebih parah lagi, PT Garam melakukan pembebasan tanah pegaraman rakyat sebagai salah satu terwujudnya proyek modernisasi,” tulis Novi Aristin Yulinda dkk. dari Jurusan Sejarah Universitas Jember dalam “Konflik Lahan Pegaraman di Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep tahun 1975-1985”, dimuat Publika Budaya, Vol. 2 (1), Maret 2014. Upaya pembebasan itu, yang dimulai sejak 1975, seringkali dilakukan, “dengan cara intimidasi, teror, pemaksaan dan kekerasan, bahkan masyarakat yang menolak pembebasan tanah peggaraman dituduh sebagai golongan PKI.” Para petani protes dan melakukan perlawanan tapi hingga upaya mereka kandas.
P.N. Garam memproduksi dan menyalurkan garam beryodium ke Koperasi Unit Desa (KUD). Namun, di pasaran, masih dijumpai garam tak beryodium dan dibeli masyarakat. Saat Koesoediarso melakukan program pemberian garam gratis bersama Soepardjo Rustam, kala itu gubernur Jawa Tengah, ada masyarakat yang setelah mendapat garam beryodium kemudian dijual dan membeli garam biasa.
“Jadi, faktor kemiskinanlah yang membuat hal ini menjadi begitu sulit,” kata Koesoediarso.
Kampanye penggunaan garam beryodium. (perpustakaandepkes.go.id).
Untuk memberi kesadaran kepada masyarakat, pemerintah membuat kampanye pentingnya penggunaan garam beryodium melalui media massa seperti televisi dan radio. Untuk pembuatan film Proyek Yodisasi Garam, misalnya, pada 1979 menteri perindustrian menunjuk Pusat Produksi Film Negara (PPFN) sebagai pelaksana fisik tanpa lelang.
Pemerintah juga memanfaatkan organisasi tingkat bawah, seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) untuk melakukan sosialilasi garam beryodium. Selain itu, pemerintah memanfaatkan kegiatan seperti pengajian dua mingguan di desa. Sosialisasi dilakukukan dengan ceramah tanpa brosur.
Permasalahan gondok tidak selesai dengan cepat. Pada 23 Maret 1982, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri perdagangan dan koperasi, menteri perindustrian, dan menteri kesehatan –lengkap dengan petunjuk teknisnya– yang mengatur pola tata niaga garam beryodium. Karena tetap bermunculan garam tak beryodium, terbit Keputusan Presiden No. 69/1994 yang menentukan garam konsumsi memiliki kandungan yodium sebesar 30 ppm dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pemerintah juga membantu industri kecil di sentra produksi garam rakyat melalui pemberian pelatihan sistem manajemen mutu dan teknik produksi serta membatu peralatan mesin yodisasi garam. Program penanggulangan gondok terus dilakukan. Pada 1997-2003, dengan dana pinjaman dari Bank Dunia, pemerintah menggerakan Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKY. Tujuannya: mempercepat penurunan prevelensi GAKY melalui pencapaian konsumsi garam beryodium untuk semua.
“Saat ini di beberapa provinsi bahkan kabupaten, pemerintah setempat sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengatur peredaran dan distribusi garam konsumsi di wilayahnya, untuk melindungi masyarakat dari peredaran garam non-yodium,” ujar Minarto, mantan direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI, dimuat gizi.depkes.go.id.
Dengan program jangka pendek dan panjang, pemerintah berhasil mengendalikan penyakit gondok sejak 2011.
“Tahun ini sudah mengajukan eliminasi penyakit gondok ke Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Dengan eliminasi, berarti gondok bukan lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat,” kata Doddy.*