Wayang Orang Kota Metropolitan

Di tengah modernitas kota Jakarta, Wayang Orang Bharata terus berpentas menghibur penggemar setianya. Mereka betahan karena kecintaan pada kesenian tradisional.

OLEH:
Darma Ismayanto
.
Wayang Orang Kota MetropolitanWayang Orang Kota Metropolitan
cover caption
Pertunjukan Wayang Orang Bharata. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

JAKARTA di tahun 1964. Seorang remaja lelaki asal Solo, Jawa Tengah, begitu terpukau menyaksikan pertunjukan wayang orang Panca Murti. Sosok Bima yang gagah dan Panakawan yang lucu nan bersahaja membenam di benaknya. Sejak itu, setiap akhir pekan atau libur sekolah, dia hanya menginginkan satu hal: nonton wayang orang. 

Marsam Mulyo Atmojo baru saja pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah menengah pertama di Taman Siswa. Dia tinggal di rumah pamannya di sekitaran Senen, Jakarta Pusat. Sang paman kerap mengajaknya menonton wayang orang Panca Murti. “Waktu itu penontonnya luar biasa banyak. Lha, Jakarta itu kan isinya orang Jawa,” kisah Marsam seraya mengumbar tawa.

Jatuh cinta, Marsam rela meninggalkan bangku sekolah dan bergabung dengan Panca Murti. Pada 1967, saat Panca Murti membentuk grup II untuk pentas keliling Jawa Tengah, Marsam tergabung di dalamnya. 

“Panca Murti punya tiga grup. Grup I di Jakarta, grup II kelliling Jawa Tengah, grup III main di Lampung. Tahun 1967 saya sudah ikut gabung. Awalnya jadi tukang tulis judul di papan. Gajinya cuma 27 perak. Tapi kemudian saya mulai diberi kepercayaan untuk ikut manggung,” kenang Marsam.

JAKARTA di tahun 1964. Seorang remaja lelaki asal Solo, Jawa Tengah, begitu terpukau menyaksikan pertunjukan wayang orang Panca Murti. Sosok Bima yang gagah dan Panakawan yang lucu nan bersahaja membenam di benaknya. Sejak itu, setiap akhir pekan atau libur sekolah, dia hanya menginginkan satu hal: nonton wayang orang. 

Marsam Mulyo Atmojo baru saja pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah menengah pertama di Taman Siswa. Dia tinggal di rumah pamannya di sekitaran Senen, Jakarta Pusat. Sang paman kerap mengajaknya menonton wayang orang Panca Murti. “Waktu itu penontonnya luar biasa banyak. Lha, Jakarta itu kan isinya orang Jawa,” kisah Marsam seraya mengumbar tawa.

Jatuh cinta, Marsam rela meninggalkan bangku sekolah dan bergabung dengan Panca Murti. Pada 1967, saat Panca Murti membentuk grup II untuk pentas keliling Jawa Tengah, Marsam tergabung di dalamnya. 

“Panca Murti punya tiga grup. Grup I di Jakarta, grup II kelliling Jawa Tengah, grup III main di Lampung. Tahun 1967 saya sudah ikut gabung. Awalnya jadi tukang tulis judul di papan. Gajinya cuma 27 perak. Tapi kemudian saya mulai diberi kepercayaan untuk ikut manggung,” kenang Marsam.

Gedung Wayang Orang Panca Murti terletak Jalan Kalilio No. 15, Senen, Jakarta Pusat. Ia menempati bekas bangunan bioskop Rialto. Salah satu bintang panggungnya adalah Kies Slamet.

Kies Slamet, pria asal Surabaya kelahiran 1941, sebelumnya berkiprah di Sri Wandowo, grup wayang orang asal Jawa Timur. Dikenal apik memainkan tokoh Cakil, Kies Slamet dibajak Panca Murti. “Kebetulan waktu itu Panca Murti sedang mencari ikon baru untuk tokoh Cakil. Pak Suwondo, orang Panca Murti, kemudian mengiming-imingi saya dengan duit Rp15 ribu supaya saya mau pindah. Ya, saya terima,” kata Kies Slamet.

Era 1960-an, di sekitaran Senen, suasananya cukup ramai. Bangunan-bangunan pusat perbelanjaan macam Mal Atrium belum lagi berdiri. Ragam hiburan pun tak banyak. Paling keren, mentok-mentok nonton film di gedung bioskop Grand Senen atau Rex yang terletak di Kramat Bunder. Wajar jika pertunjukan wayang orang digemari.

“Pekerja atau pedagang di Pasar Senen kebanyakan orang Jawa. Kegemaran generasi saat itu tentu berbeda dengan generasi sekarang. Waktu itu ya rata-rata pasti pencinta wayang karena di kampungnya biasa nonton wayang,” kata Marsam.

Wayang Orang Panca Murti bersalaman dengan Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto pada 1980-an. (Dok. Kies Slamet).

Tak Nyerempet Politik

Memasuki 1960-an, di Pulau Jawa, terbentuk banyak grup wayang orang komersial. Beberapa di antaranya mencari peruntungan di Jakarta seperti Endang Rejeki dan Bogowonto. Mereka pentas berpindah-pindah tempat. Di tengah jalan, ada yang tak bertahan alias bubar. Bunawar Suyono, seorang TNI berpangkat Pelda, kemudian mengumpulkan para pemain wayang dari berbagai grup yang bubar itu dan mendirikan Wayang Orang Panca Murti pada 1963.

“Bunawar Suyono itu orang Jawa pencinta kesenian tradisonal. Ia orang dari angkatan bersenjata yang peduli dengan nasib seniman tradisional. Makanya dia mendirikan Panca Murti,” ujar Kies Slamet.

Sebagai seorang perwira TNI, Bunawar Suyono memiliki akses dan modal yang cukup kuat. Bekas gedung Bioskop Rialto dijadikannya tempat pertunjukan. “Bila sebelum kemerdekaan, pemilik wayang orang kebanyakan orang Tionghoa, pascakemerdekaan justru dimiliki orang-orang dari kalangan angkatan bersenjata,” kata Masram.

Ternyata sambutan terhadap Panca Murti luar biasa. Gedung pertunjukan yang saat itu mampu menampung 800-an orang selalu penuh penonton. “Di awal, sebelum terkena dampak pelebaran Proyek Senen, gedung pertunjukan itu sampai depan jalan. Termakan untuk jalan sekira 20 meter. Lintasan Busway di depan itu dulunya posisi loket. Cukup luas, makanya mampu menampung sampai 800 orang,” ujar Masram.

Kies Slamet meme­rankan tokoh Bima. (Dok. Kies Slamet).

Kala itu, seingat Marsam, sedikitnya ada delapan grup wayang orang di Jakarta. Ada Adi Luhung dan Panca Murti di sekitaran Senen, Ngesti Wandowo di Mester, Jatinegara, Ratna Budaya di daerah Kawi dekat Guntur, serta Cahya Kawedar di Tanjung Priok. Selanjutnya ada Sri Sabdo Utomo, Ngesti Budoyo, dan Sri Surya. “Semuanya selalu ramai penonton. Adi Luhung, dulu menempati gedung tepat di depan Stasiun Senen tapi sekarang jadi toko trofi, juga selalu ramai pengunjung,” kata Marsam.

Geger politik 1965 tak berpengaruh pada jumlah pengunjung. Adanya penetapan jam malam disiasati dengan memajukan dan memangkas jam pentas. “Pentasnya dari pukul 16.00 sampai 19.00. Itu pun tidak pernah sepi. Selalu ramai.”

Menurut Kies Slamet, di saat suasana genting saat itu, Panca Murti berusaha tetap netral. Mereka tidak mau masuk ke wilayah politik. Kesadaran kalau tontonan itu merupakan “tuntunan”, dan kalau menuntun berarti harus menuju ke arah yang baik, membuat mereka tak ingin nyerempet soal politik. “Ya lebih aman begitu. Lagi pula pelindung-pelindung kami saat itu kan dari angkatan. Salah satunya Jenderal Sukawati. Jadi ya aman-aman saja,” ujarnya.

Hingga 1970-an awal, Panca Murti mengalami masa keemasan. Saking banyaknya penggemar, pertunjukan bisa berlangsung 34-36 kali dalam sebulan. Kies Slamet, Ibu Suwarti, Partodadi, Murdadi, dan Heru Purnomo menjadi bintang panggung Panca Murti. Selain Kies Slamet, nama-nama lain sudah almarhum. 

Sayang, pada 1972, karena ada rencana penggunaan gedung untuk tempat perjudian, Panca Murti terpental dari Rialto. Toh Panca Murti coba bertahan. “Terakhir manggung di bekas gudang beras di Tanjung Priok, tapi tidak bertahan lama. Keuangannya sudah hancur, akhirnya bubar,” ujar Kies Slamet.

Dwi Djajakusuma (duduk paling kiri). (Dok. Kies Slamet).

Gaya Baru

Tak ingin bubar begitu saja, beberapa anak wayang menemui Dwi Djajakusuma, seorang sutradara film yang saat itu menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta. Atas prakarsa Djajakusuma, pemain Panca Murti ditampung di Taman Ismail Marzuki dalam Wayang Orang Jaya Budaya yang dimotori Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, dan S. Kardjono.

Kedekatan mereka berawal dari pembuatan film Bima Kroda yang melibatkan para anak wayang. Film ini, yang membuat Dwi Djajakusuma meraih sutradara terbaik dalam Piala Citra, bertutur tentang penghancuran keluarga Pandawa. Tema ini diangkat untuk mengkritisi perihal penculikan dan eksekusi dari lima jenderal militer selama Gerakan 30 September 1965. “Dari situ Pak Djaja dekat dengan kami,” ujar Marsam, yang mendapat peran kecil dalam film itu. 

Dwi Djajakusuma, atau lebih dikenal dengan nama Djaduk Djajakusuma, seorang sutradara pencinta kesenian tradisional. Kecintaannya pada wayang sejak masa kanak-kanak menginspirasi lahirnya film Lahirnya Gatotkaca, dirilis 1960. Ketika menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta, dia dianggap berjasa mengangkat lenong, ludruk, dan seni tradisional lainnya dengan memberikan tempat kegiatan di Taman Ismail Marzuki. 

Pada 5 Juli 1972, Dwi Djajakusuma bersama mantan pemain Panca Murti membentuk grup wayang orang baru. Semula hendak menggunakan nama Citra tapi kemudian memutuskan menggunakan nama Wayang Orang Bharata.

Begitu terbentuk, Bharata langsung berada di bawah pembinaan Direktorat III/Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta. Mulailah Bharata naik pentas. Gedung Rialto kembali dapat mereka gunakan untuk berpentas. Mengetahui bahwa para personel Bharata tak lain nayaga Panca Murti, penonton kembali berdatangan. “Awal kembali mentas gak ada penontonnya, pernah cuma dua orang. Tapi seiring waktu penggemar mulai berdatangan lagi,” ujar Marsam, yang kini menjadi pemimpin Bharata.

Memasuki tahun 1974, kondisi seni kurang menguntungkan seniman tradisional. Show dangdut dan layar tancap mulai menarik perhatian. Orang juga sedang gandrung-gandrungnya dengan kehadiran televisi. “Saingan paling berat ya televisi. Tanpa harus keluar rumah orang bisa nonton pertunjukan wayang di televisi. Tahun 1974, satu per satu grup wayang orang di Jakarta gulung tikar. Beruntung Bharata terus bertahan,” tutur Marsam. 

Nunung sebagai bintang tamu. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Untuk menyiasatinya, Djajakusuma memberikan sentuhan baru. “Untuk mementaskan wayang orang gaya baru, tidak saja orang yang main, melainkan juga dekorasi dan suasana yang ada dalam panggung diubah. Dekor yang biasa digambar harus diubah secara realistis. Kalau perlu hanya dengan simbol-simbol. Hutan diganti dengan pohon dan dahan kayu. Gerak tari dan olah tari yang sudah distylized (dibentuk) harus diimbangi dengan suasana yang sama. Kelir danau atau laut yang dijadikan ilustrasi adegan di pegunungan dapat digulung dan diturunkan kembali oleh penarik kelir,” tulis Berita Buana, 14 November 1975.

Selain itu, bantuan dana dari pemerintah DKI dan regenerasi membantu eksistensi Bharata. Meski tak seramai dulu, penonton masih mau datang. Cobaan terberat datang saat krisis moneter. Jumlah penonton menurun drastis. Pada 2001, terkait renovasi gedung pertunjukan, Bharata sempat vakum empat tahun. Untuk menarik penonton, Marsam menggratiskan pertunjukan. Saat pengunjung mulai berdatangan, penjualan tiket kembali diterapkan. Pada 2008 pertunjukan mulai dilakukan seminggu sekali, setiap malam Minggu.

“Di sini kita tidak menerapkan sistem gaji. Hanya ada semacam uang lelah. Tentu tidak mencukupi untuk hidup. Ketika saya memimpin, saya minta keikhlasan mereka untuk terlibat melestarikan wayang orang, meluangkan waktu sekali seminggu untuk Bharata,” kata Marsam.

“Kalau cuma mengandalkan dari pementasan wayang seminggu sekali, ya tidak cukup. Untungnya, kalau ada kegiatan seni pertunjukan, anak-anak Bharata sering dilibatkan. Waktu ada pertunjukan wayang orang ‘Jabang Tetuko’ di Jakarta Convention Center, banyak anak Bharata dilibatkan,” ujar Kenthus, salah satu generasi muda di Bharata.

“Itu sudah jadi risiko sebagai pekerja seni. Agar wayang orang terus eksis ya meski berkorban. Harus siap susah. Tapi biasanya saat kita berpentas, lalu dikeproki penonton, semua kesusahan itu hilang,” ujar Kies Slamet.

Gedung kesenian Wayang Orang Bharata. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Oase di Tengah Kota 

Sabtu malam di medio Maret 2013, hujan baru saja reda. Di pelataran parkir gedung Wayang Orang Bharata, berbagai jenis kendaraan telah menyesak. Sekira pukul 20.00, dari dalam gedung sayup-sayup terdengar suara sinden Mulyani dan Murni menembangkan lagu-lagu Jawa. Malam itu, Bharata memainkan lakon “Petruk Jadi Maling”.

Di belakang panggung, Kies Slamet, yang malam itu kebagian jatah berlakon sebagai Petruk, duduk santai di depan meja riasnya. Sedangkan Marsam yang kebagian jatah jadi Bagong malah belum berias sama sekali.

Malam itu ada yang berbeda di pertunjukan Bharata. Julia Suprana, mantan istri Jaya Suprana, bakal ikut main. Dia jadi Dewi Pranawati. Sesekali dia meminta nasihat Kies Slamet perihal gerakannya. Dengan telaten Kies Slamet memberi nasihat.

“Kalau ada orang luar yang ikut main ya lumayan. Biasanya untuk urusan konsumsi saja sudah dipenuhi mereka,” kata Marsam.

Tepat pukul 20.30, Erwin yang bertindak selaku sutradara memberi aba-aba untuk membuka tirai panggung. Tiga penari dengan lincah memasuki panggung, menandakan pertunjukan dimulai. Di barisan penonton Jaya Suprana dan pianis Rusia Anna Volovitch, terlihat antusias menyaksikan pertunjukan.

Saat pertunjukan tengah seru-serunya, di luar gedung kendaraan yang melintas di jalan raya pun tak kalah sibuk. Terhimpit di antara gedung pertokoan, dan ingar-bingar lalu lintas Jakarta, keberadaan Bharata serasa nyempal dari modernitas kota. Ia menjadi oase tersendiri bagi para pencinta kesenian tradisional, yang umumnya berusia lanjut.

“Kalau sudah cinta sulit. Contohnya saya, kok bisa-bisanya meninggalkan sekolah untuk jadi anak wayang. Ya kalau sekarang pengabdian, agar kesenian tradisional seperti wayang orang dapat terus bertahan,” tutup Marsam.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64e4644e866a8baf248ad295