Sebuah kota tua di Australia menjadi tujuan orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari kemelaratan. Kini Ballarat jadi tempat wisata sejarah yang menarik jutaan pengunjung.
Ballarat Cash Store tahun 1890. (museumvictoria.com.au).
Aa
Aa
Aa
Aa
CUACA di Melbourne mendadak berubah ekstrem. Bermula 20-an derajat celcius di pagi hari dan terus merangkak sampai ke titik 37 derajat celcius pada siang sampai dengan petang hari. Cuaca panas disertai angin kering itu tak menghentikan rencana saya dan Silvy Wantania, seorang warga asal Indonesia yang menetap di Melbourne untuk menyambangi Ballarat, sebuah kota tua 105 kilometer di sebelah barat kota Melbourne.
Perjalanan menuju Ballarat melintasi padang rumput, hutan yang ditumbuhi pohon eucalyptus dan beberapa kali melewati papan pengumuman untuk mewasapadai koala atau kanguru yang menyeberang. Jalan mulus mempersingkat perjalanan Melbourne ke Ballarat.
Setelah satu jam lebih berkendara dari Melbourne, kami tiba di Ballarat. Panas menyengat di kota itu. Orang-orang agaknya lebih memilih untuk berada di dalam rumah. Menghindari sengatan sinar matahari yang terik menerangi hari Minggu pertengahan Februari lalu.
CUACA di Melbourne mendadak berubah ekstrem. Bermula 20-an derajat celcius di pagi hari dan terus merangkak sampai ke titik 37 derajat celcius pada siang sampai dengan petang hari. Cuaca panas disertai angin kering itu tak menghentikan rencana saya dan Silvy Wantania, seorang warga asal Indonesia yang menetap di Melbourne untuk menyambangi Ballarat, sebuah kota tua 105 kilometer di sebelah barat kota Melbourne.
Perjalanan menuju Ballarat melintasi padang rumput, hutan yang ditumbuhi pohon eucalyptus dan beberapa kali melewati papan pengumuman untuk mewasapadai koala atau kanguru yang menyeberang. Jalan mulus mempersingkat perjalanan Melbourne ke Ballarat.
Setelah satu jam lebih berkendara dari Melbourne, kami tiba di Ballarat. Panas menyengat di kota itu. Orang-orang agaknya lebih memilih untuk berada di dalam rumah. Menghindari sengatan sinar matahari yang terik menerangi hari Minggu pertengahan Februari lalu.
Saya, Silvy dan anaknya Ben, memutuskan mampir di sebuah restoran Cina. Jam makan siang tiba. Bus wisatawan berderet di pingir jalan, di depan restoran. Beberapa mobil lain, yang juga milik wisatawan, memenuhi parkir. Ratusan wisatawan Cina antre di restoran itu. Bergantian untuk makan siang.
Ledakan pertumbuhan ekonomi di Cina menciptakan kelas menengah baru. Berwisata menjadi kebutuhan bagi mereka. Semakin naiknya pendapatan, meningkatkan daya beli dan kemampuan warga Cina untuk berwisata ke luar negeri. Australia jadi pilihan. Hampir di setiap tempat wisata di Australia, diramaikan oleh wisatawan Cina.
Kami menikmati makan siang. Santi, seorang pegawai restoran yang kebetulan berasal dari Surabaya melayani kami dengan keramahan khas orang Indonesia: penuh gurau canda. “Kalau nanti butuh apa-apa, panggil saya saja,” kata dia sambil berlalu meninggalkan meja kami. Makanan ludes dalam sekejap. Kami pun bergerak melanjutkan perjalanan.
Kota Lama Zaman “Gold Rush”
Tujuan kami adalah Sovereign Hills. Sebuah replika kota zaman “gold rush” melanda Australia abad ke-19. Kota itu, sesuai dengan namanya, terletak di sebuah bukit. Tanahnya putih berkapur. Memaparkan debu ke udara tiap kali angin berembus. Setelah membeli tiket masuk seharga 47 dolar Australia (atau Rp470 ribu) per pengunjung, kami memasuki “lorong waktu” untuk melihat situasi di masa lalu.
Jalanan utama replika kota tua itu diapit deretan toko, salon, dan berbagai toko penyedia kebutuhan lainnya yang bergaya abad 19. Suasana kota yang dilengkapi bangunan toko kuno dan orang-orang “antik” itu semakin “jadul” karena “warga” di kota itu melakukan aktivitas sebagaimana halnya pada dua abad lalu. Sesekali nona-nona berdandan ala Little Missy jalan hilir mudik dari satu bangunan ke bangunan lainnya. Pemain musik bergaya country mengalunkan musik dari teras bar dan derap sepatu kuda semakin mengentalkan suasana pada dua abad yang lalu.
Selain jalan utama, ada jalan lain yang saling menghubungkan di kota tua itu, dan membawa pengunjung ke beberapa lokasi wisata. Tak jauh dari jalan utama, terdapat Red Hill Road, di mana terletak kamp penambang Cina. Di kamp itu didirikan beberapa tenda penambang yang letaknya tak jauh dari sungai. Pada masa yang lalu, para penambang Cina mendulang emas dari lubang-lubang penambangan yang mereka gali.
Atraksi menarik lainnya adalah pandai besi yang mengolah batangan besi menjadi sepatu kuda dan berbagai kebutuhan tambang lainnya. Pandai besi itu melakukan pekerjaan sebagaimana yang dilakukan pada abad ke-19. Tak hanya pandai besi, pengrajin gelas, gula-gula, lilin dan pembuatan sabun secara tradisional juga menjadi atraksi menarik minat wisatawan.
Sabun, lilin atau gelas yang diproduksi secara tradisional itu bisa dibeli sebagai buah tangan. Cara pembuatannya yang khas, yang tetap menggunakan cara-cara yang ditempuh oleh tiga sampai dengan empat generasi ke belakang, banyak memikat pengunjung untuk membelinya. Pedagang toko pun mengenakan pakaian zaman dulu. Mereka menunggu toko dilengkapi dengan lemari dan segala macam perabotan dari masa lampau.
Bila tak ada waktu lama untuk mengelilingi seluruh kota di Sovereign Hills, kereta kuda bisa dijadikan kendaraan untuk memutari kota. Dua juta wisatawan datang mengunjungi Ballarat setiap tahunnya. Salah satu tempat favorit yang sering dikunjungi wisatawan mancanegara adalah Sovereign Hills, yang mulai 1970 secara resmi menjadi obyek wisata sejarah.
Sejarah Ballarat
Sebelum orang-orang Eropa datang ke Australia, daerah Ballarat dikenal sebagai daerah permukiman warga Wathaurong, penduduk asli di sana. Warga kulit putih pertama mulai datang pada 1837 dalam rangka mencari lahan rumput subur untuk peternakan domba milik mereka. Dalam tahun itu, keluarga Archibald Buchanan Yuille yang berasal dari Skotlandia mengklaim areal seluas 10 ribu hektar untuk peternakannya. Sebuah rumah didirikan di sana. Itulah cikal bakal kota Ballarat yang bertahun kemudian akan didatangi ribuan orang untuk bermukim.
Nama Ballarat sendiri diambil dari bahasa Aborigin, ballaarat yang berarti “tempat beristirahat”. Ia adalah kota terpenting pada era ledakan pertumbuhan kota-kota di Australia. Hanya beberapa bulan sejak negara bagian Victoria memisahkan diri dari negara bagian New South Wales, demam emas pada masa Victoria telah mengubah Ballarat dari sebuah kota gembala yang kecil menjadi wilayah permukiman yang besar. Masa Victoria adalah periode di saat Ratu Victoria berkuasa sejak 20 Juni 1837 sampai dengan kematiannya pada 22 Januari 1901.
Kabar tentang penemuan emas di bulan Agustus 1851 itu menyebar cepat, mendorong orang-orang datang memburu peruntungan di Ballarat. Sekira 20 ribu imigran, baik dari daratan Cina maupun Irlandia, datang memenuhi Ballarat. Penambangan emas didirikan di beberapa titik, antara lain di lembah Yarrowee.
Gambaran suasana zaman demam emas yang dipertontonkan di Sovereign Hills memberikan sedikit petunjuk untuk memahami masa lalu Australia. Benua yang katanya kali pertama ditemukan oleh James Cook pada abad ke-18 itu semula tak menarik minat orang Eropa untuk datang. Ia hanya difungsikan sebagai tempat buangan bagi para kriminal dari daratan Inggris. Namun, setelah ditemukannya emas, berbondong-bondong orang datang untuk memperbaiki nasib. Ballarat menjadi salah satu tujuan para pencari keberuntungan itu.
Sejak akhir 1860 sampai dengan awal abad ke-20 Ballarat berhasil mengubah dirinya dari kota tambang emas menjadi kota industri yang penting bagi Australia. Kemah-kemah penambang emas perlahan-lahan berubah menjadi bangunan permanen. Berkembangnya Ballarat sebagai kota pertambangan menjadi kota industri lambat laun menyebar hingga daratan Eropa. Bahkan Pangeran Alfred mengadakan kunjungan resmi ke Ballarat antara 9–13 Desember 1867. Pesohor Kerajaan Inggris lainnya yang pernah berkunjung ke Ballarat adalah Raja George V dan Ratu Mary. Mereka mengunjungi Ballarat pada 13 Mei 1903.
Menjual Sejarah
Yang menarik dari Australia adalah cara mengundang wisatawan mancanegara untuk datang ke negaranya. Hal itu terletak pada keahliannya mengemas serpihan masa lalu menjadi paket atraksi yang mengagumkan sekaligus tentu saja menguntungkan. Sovereign Hills di Ballarat salah satu cara “menjual sejarah” yang sukses. Seperti turut di dalam sebuah panggung sandiwara, pengunjung dibawa ke masa lalu, menghirup udaranya dan menyerap perasaan hidup pada masa yang telah lewat.
Terowongan penggalian emas yang tak lagi digunakan disulap menjadi tempat wisata tambang emas. Dengan menggunakan lori, pengunjung dibawa menyelami perut bumi untuk melihat kembali kegiatan penambangan emas di masa lalu. Seorang pemandu yang berdandan ala penambang emas abad ke-19, lengkap dengan gaya bicara yang kasar, menjelaskan tentang apa yang terjadi di terowongan tersebut.
Semua tentu dibikin-bikin, selain tentu saja kisah nyata tentang runtuhnya terowongan tambang di Creswick pada 1882 yang menewaskan 22 penambang. Cerita itu kembali dituturkan di pengujung tur terowongan, untuk semakin menggambarkan risiko para penambang emas yang bekerja memburu peruntungan.
Tak hanya aktivitas penggalian emas, kehidupan sehari-hari warga kota seperti sekolah pun menjadi wahana pameran. Ruang kelas, lengkap beserta gurunya yang berpakaian ala guru abad ke-19: kemeja tangan panjang dan rompi, menggambarkan suasana sekolah bagi anak-anak penambang.
Semua itu adalah “barang” dagangan yang diramu secara kreatif dari kisah sejarah. Sejarah Australia erat kaitannya dengan sejarah perburuan emas. Ada kisah keberuntungan dan juga cerita tentang penderitaan yang dialami warga Aborigin yang terpaksa menyingkir (dan disingkirkan) oleh para imigran.
Dan soal-soal penyingkiran itu hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah Australia yang ditulis secara kritis oleh para sejarawan. Pada obyek-obyek wisata sejarah di Ballarat, tentu saja hal tersebut satu soal yang diabaikan. Seolah-olah, roda sejarah Australia baru mengawali geraknya pada abad ke-19, bertepatan dengan demam emas yang menggejala.*