Yang Mati Meninggalkan Buku

Kisah penerbit dan toko buku terbesar di Hindia Belanda. Berakhir karena nasionalisasi.

OLEH:
Fadrik Aziz Firdausi
.
Yang Mati Meninggalkan BukuYang Mati Meninggalkan Buku
cover caption
Toko buku G. Kolff & Co. (KITLV).

MENDUNG pekat bergelayut di langit Kota Tua, Jakarta, siang itu. Taman Fatahilah, yang di hari libur menjadi pusat keramaian, lengang. Dua-tiga rombongan tur pelajar berkerumun di depan Museum Sejarah Jakarta. Beberapa wisatawan mengayuh sepeda onthel mengelilingi taman; beberapa yang cukup berumur duduk-duduk sambil bercengkrama di sekitar taman.  

Sejak 2014, Kota Tua Jakarta bersolek. PT Pembangunan Kota Tua dan Pemprov DKI Jakarta menggenjot program revitalisasi. Sejak itu, beberapa gedung tua peninggalan masa kolonial direnovasi dan sebagian di antaranya telah difungsikan kembali.  

Tapi program itu belum sepenuhnya rampung. Jika melangkahkan kaki ke arah Jalan Kali Besar Timur, kita akan mendapati pagar seng menutup jalan dari ujung selatan ke utara. Pagar seng juga menutupi sebuah blok gedung tua di ujung utara jalan, yang bersilangan dengan Jalan Kali Besar Timur III. Di sana terdapat gedung Tjipta Niaga, Dharma Niaga, Van Vlueten & Cox, dan Boekhandel G. Kolff & Co.

MENDUNG pekat bergelayut di langit Kota Tua, Jakarta, siang itu. Taman Fatahilah, yang di hari libur menjadi pusat keramaian, lengang. Dua-tiga rombongan tur pelajar berkerumun di depan Museum Sejarah Jakarta. Beberapa wisatawan mengayuh sepeda onthel mengelilingi taman; beberapa yang cukup berumur duduk-duduk sambil bercengkrama di sekitar taman.  

Sejak 2014, Kota Tua Jakarta bersolek. PT Pembangunan Kota Tua dan Pemprov DKI Jakarta menggenjot program revitalisasi. Sejak itu, beberapa gedung tua peninggalan masa kolonial direnovasi dan sebagian di antaranya telah difungsikan kembali.  

Tapi program itu belum sepenuhnya rampung. Jika melangkahkan kaki ke arah Jalan Kali Besar Timur, kita akan mendapati pagar seng menutup jalan dari ujung selatan ke utara. Pagar seng juga menutupi sebuah blok gedung tua di ujung utara jalan, yang bersilangan dengan Jalan Kali Besar Timur III. Di sana terdapat gedung Tjipta Niaga, Dharma Niaga, Van Vlueten & Cox, dan Boekhandel G. Kolff & Co.  

Sementara tiga gedung lainnya sedang direnovasi, tidak demikian dengan gedung bekas kantor pusat penerbit dan toko buku G. Kolff & Co. Pada 2015, hampir seluruh bangunannya runtuh, hanya menyisakan dinding sisi barat. PT Pembangunan Kota Tua tak bisa berbuat banyak. Sisa-sisa gedung itu akhirnya dirobohkan.  

Kini, bekas area gedung seluas 20 x 16 meter itu dipagari seng. Tak ada penanda apapun yang menunjukkan dulu area itu adalah kantor pusat penerbit terkemuka di Hindia Belanda.

Lahan bekas Boekhandel en Drukkerij G. Kolff& Co. di Jalan Kali Besar Timur. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Cikal Bakal

Cikal bakal firma ini bermula dari sebuah toko buku kecil. Yang mendirikannya adalah Willem van Haren Noman, pengusaha Belanda, pada 1848. Toko buku itu menempati sebuah ruang sewa yang kecil di Buiten Nieuwpoort Straat (kini, Jalan Pintu Besar Selatan).  

Saat itu iklim perbukuan mulai tumbuh dengan adanya Landsdrukkerij, perusahaan percetakan milik pemerintah yang didirikan pada 1809 –dan bertahan hingga 1942. Ia memonopoli pencetakan terbitan departemen-departemen pemerintah seperti De Javasche Courant dan Het Staatblad van Nederlandsch Indie serta publikasi-publikasi resmi pemerintah.

Menurut Razif dalam Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan, perdagangan buku yang dikelola secara semikomersial, di mana pendistribusiannya masih diatur Landsdrukkerij, dimulai dengan berdirinya Vereeniging ter Bevordering van de Belangen den Boekhandels di Belanda. Kenapa di Belanda? Karena kesulitan memperoleh kertas bermutu tinggi. Perdagangan buku masih terbatas dalam rangka penginjilan. Baru pada 1835 Direktur Landsdrukkerij L.D. Brest van Kempen mengeluarkan izin khusus untuk menjual buku-buku dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra untuk publik Hindia.  

“Semua persediaan buku yang dijual adalah buku impor dan kebanyakan dari negeri Belanda,” tulis Razif.  

Pada akhirnya Landsdrukkerij memproduksi buku-buku sendiri, yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah kolonial. “Landsdrukkerij juga mencetak buku-buku dalam berbagai bahasa dan aksara: Arab, Jawa, Lampung, Mandailing, Makassar, Bali, Yunani, Sanskerta, dan Cina,” tulis Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19.  

Meski disubsidi pemerintah, distribusi buku-buku Landsdrukkerij tak selalu baik; hanya melalui kepala-kepala gudang garam dan kopi serta guru-guru bumiputra. Sejumlah buku jadi lapuk dan terbengkalai di gudang.  

Van Haren Noman melihat ceruk pasar buku masih lapang dan amat menjanjikan. Terlebih ketika dia membuka toko buku pertamanya, nisbi tak ada saingan selain firma Lange & Co.  

Lange & Co. mulanya bernama Cijfeer and Company, yang didirikan tahun 1839. Ia pelopor percetakan buku yang dikelola sepenuhnya oleh swasta. Ia bolak-balik ganti kepemilikan dan nama hingga akhirnya menjadi Lange & Co pada 1846. Namun karena terus merugi, ia kembali dijual kepada Bruyning en Wijt.  

Usaha van Haren Noman mulai berkembang ketika datang Gualtherus Johannes Cornelis Kolff dari Belanda pada 1850. Keduanya lalu bermitra di bawah nama Van Haren Noman & Kolff.  

Namun, empat tahun kemudian van Haren Noman pulang ke Belanda karena sakit. Usai menjalani pengobatan, dia memutuskan tak kembali ke Hindia Belanda dan pensiun berbisnis. Sejak itulah Kolff mengambil alih bisnis dan mengubah nama usahanya menjadi G. Kolff & Co.

Toko buku G. Kolff & Co.tampak samping. (KITLV).

Masa Jaya

Skala bisnis G. Kolff & Co membesar dalam dekade pertamanya. Toko di Buiten Nieuwpoort Straat tak cukup lagi menampung aktivitas bisnisnya. Karenanya, pada 1860 Kolff membeli sebuah bangunan di sudut selatan Pasar Pisang, yang kini dikenal sebagai Jalan Kali Besar Timur III. Di sinilah kantor utama Kolff hingga Mei 1921 ketika memiliki tempat yang jauh lebih besar di Jalan Pecenongan, dekat Pasar Baru.  

Abad ke-19 adalah masa “pencerahan” di Hindia Belanda. Pendidikan meluas ke seantero Jawa. Tak hanya untuk orang-orang Eropa, tapi juga menjangkau kalangan bumiputra meskipun terbatas. Sebuah iklim yang mendukung bagi pertumbuhan bisnis perbukuan.  

Dalam studi Mikihiro Moriyama, selama itu Kolff ikut berperan dalam perkembangan pendidikan melalui penerbitan buku pengajaran di daerah berbahasa Sunda. Penerbitan buku-buku berbahasa Sunda diampu cabang Kolff di Bandung yang berdiri pada 1897. Tapi, Kolff tidak membatasi diri dalam terbitan berbahasa Sunda.

G. Kolff & Co. bukan hanya menerbitkan buku-buku pengajaran. Ia juga menerbitkan catatan perjalanan, laporan penelitian, sains, etnografi sosial, sejarah, hingga panduan budidaya pertanian. Di ceruk ini Kolff mesti bersaing dengan penerbit swasta Eropa lainnya seperti Lange & Co., G.C.T. van Dorp, dan Albrecht & Co. Tak bisa diabaikan pula percetakan milik orang-orang Tionghoa, yang membanjir sejak penutup abad ke-19, seperti Goan Hong, Goei P.H., dan Jo Tjiam Goan.  

Selain penerbitan, Kolff mencetak beberapa jenis perlengkapan kantor dan koran. “Bisnis utama G. Kolff & Co. adalah penerbitan suratkabar, buku, perlengkapan kantor seperti amplop dan kop surat, iklan cetak, kemasan produk seperti pembungkus rokok, dan kartu pos,” ujar Scott Merrillees, kolektor kartu pos kuno dan penekun sejarah, kepada Historia.

Sepanjang penelusuran Merrillees, G. Kolff & Co. pernah mencetak koran Java Bode (Jakarta), De Locomotief (Semarang), Bataviaasch Handelsblad, dan Het Surabaiasche Handelsblad (Surabaya).  

Menjelang pergantian abad, bisnis Kolff telah membesar. Kolff membuka cabang di Noordwijk Straat (kini Jalan Juanda) pada September 1894, agar lebih dekat kepada publik pembelinya di daerah perluasan kota yang baru di Weltevreden. Dari Batavia, Kolff melebarkan sayap bisnisnya ke kota-kota lain di seantero Jawa.  

“Cabang-cabang G. Kolff & Co. berdiri di Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Madiun, Kediri, Surabaya, Malang, dan Jember,” ujar Merrillees.  

Cabang-cabang inilah pondasi membesarnya bisnis G. Kolff & Co. pada awal abad ke-20. Laman Jakartapedia mencatat pada 1930, perusahaan ini makin berkibar ketika Ratu Belanda memberikan hak pada Kolff untuk menggunakan label “Koninklijke” sehingga nama firma menjadi NV Koninklijke Boekhandel en Drukkerij G. Kolff & Co. Bukan itu saja. Pemerintah Hindia Belanda memberikan kontrak untuk mencetak bandrol (surat jaminan) bagi pemungutan cukai tembakau pada 1932. Pemerintah juga menjadikannya sebagai pemasok utama buku pendidikan di Hindia Belanda dan produsen kartu pos bergambar terbesar di Batavia.  

Hingga sebelum masa perang, G. Kolff & Co. terus berkembang. Keberadaannya dimanfaatkan para penulis untuk menerbitkan karya mereka. Bukan hanya penulis Eropa tapi juga bumiputra.  

Salah satu proyek prestisius yang dikerjakan G. Kolff & Co., bekerjasama dengan Balai Poestaka, adalah memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, yang pernah menjabat bupati Serang, Batavia, dan anggota Volksraad. Dari naskah awal yang tebalnya mencapai 1000 halaman folio, firma Kolff menyunting hingga separuhnya. Tugas penyuntingan dikerjakan Diet Kramer atas permintaan firma Kolff. Butuh sekira tiga tahun hingga memoar ini terbit dalam dua edisi bahasa, Melayu dan Belanda, pada 1936.  

Penerbitan memoar ini penting bagi citra Kolff karena status sosial Djajadiningrat. “Balai Poestaka tidak akan melakukan produksi-bersama seperti itu kalau penerbit counter-partnya dan penulis naskahnya tidak dinilai tangguh,” tulis Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku.

R. Kartawibawa, seorang ahli pertanian sekaligus guru, terbilang produktif menulis dan menerbitkan karyanya di Kolff. Menurut Wong Blitar: Sisi Lain Cerita tentang Orang Indonesia yang disusun Hery Setiabudidia dkk, Kartawibawa adalah keponakan Soekeni Sosrodihardjo, ayahanda Bung Karno. Dia rajin membuat karya khas daerah untuk kurikulum sekolah yang didirikannya, Particulire Holland Indische School. Karyanya yang diterbitkan G. Kolff & Co. antara lain Arja Blitar, Matjan malihan, Goenoeng Keloet, Dongeng asale Toembak Kyai oepas lan telaga ngebel, dan Dongeng Badjoel Kowor lan Sjeh Bela-beloe yang semuanya terbit pada 1941.  

Kini, sebagian buku terbitan G. Kolff tersimpan di Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (Pustaka) Kementerian Pertanian di Bogor. Kebanyakan berbahasa Belanda, tapi ada pula yang berbahasa Jerman dan Inggris. “Kondisi bukunya secara umum macam-macam. Ada yang relatif utuh dan ada juga yang rusak,” ujar Asep Mulyana, staf bagian preservasi dan konservasi koleksi antiquariat Pustaka, kepada Historia. Karena itu Pustaka memiliki Laboratorium Preservasi dan Konservasi untuk menyelamatkan buku-buku yang rusak.

Gubernur Jenderal De Jonge (kedua dari kanan) menghadiri pameran lukisan di Galeri G. Kolff & Co. (gahetna.nl).

Akhir Senyap

Gedung berarsitektur gaya artdeco berdiri kokoh di sebuah sudut jalan. Fasad luar gedung dua lantai itu dicat putih. Jendela-jendela besar menjadi fitur dominan yang mencirikan gedung itu. Bagian depan gedung yang menghadap Kali Besar Straat berhias kanopi yang sederhananya, tanpa banyak dekorasi. Tak ada fitur yang benar-benar mencolok dan segera menunjukkan bahwa ia adalah sebuah toko buku, kecuali relief tulisan “boekhandel” tepat di atas kanopi.  

Itulah penampakan kantor pusat dan toko buku G. Kolff & Co. yang dipotret firma fotografi Woodbury & Page. Foto itu menjadi bagian proyek dokumentasi tentang kota Batavia yang dipotret Woodbury & Page pada 1872. Kemasyuran G. Kolff & Co. sebagai penerbit dan toko buku menjadi pertimbangan Woodbury & Page untuk mendokumentasikannya.  

Dari gedung itulah G. Kolff & Co. mengemudikan perusahaannya. Sementara toko cabangnya di Noordwijk Straat kerap dipakai sebagai galeri seni. Laman jakarta.go.id menyebutkan, “Di sini kerap terselenggara pameran karya tokoh seni lukis Hindia Belanda pada masa kolonial Hindia Belanda, seperti G.P. Adolfs, R. Strasser, dsb.” Tapi jejak kemasyhuran itu memudar sejak masa pendudukan Jepang. G. Kolff & Co. dikuasai pemerintah pendudukan dan peralatannya yang modern dipakai untuk mencetak uang Jepang.  

Setelah Indonesia merdeka, percetakan dikuasai Serikat Buruh Percetakan G. Kolff, yang bersimpati pada Republik, dan dipakai untuk mencetak uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Ia kemudian dikembalikan kepada Belanda sebagai bagian dari kesediaan pemerintah Republik untuk berunding. Setelah pengakuan kedaulatan, G. Kolff & Co. kembali beroperasi dengan tenang. Sejumlah buku pun terbit. Misalnya, karya Johannes Leimena, yang menjabat sebagai menteri kesehatan sebanyak delapan kali, berjudul buku Dokter dan Moral dan Membangun Kesehatan Rakyat tahun 1951. Ada juga karya Abdul Muis berjudul Hikayat Bachtiar (1950) dan Hendak Berbalai serta Kita dan Demokrasi (1951). Jika disebutkan semua, daftarnya bisa panjang.  

Namun sengketa mengenai status Irian Barat yang berlarut-larut menimbulkan sentimen anti-Belanda.  

G. Kolff & Co. akhirnya menjadi bagian dari gelombang nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda yang dimulai pada pertengahan 1950-an. Ia kemudian ditempatkan di bawah Badan Penyelenggara Perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT), salah badan penampung perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi dan berada di bawah Badan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda (Banas).  

Selain kepemilikan berpindah tangan, namanya pun diubah. NV Koninklijke Boekhandel & Drukkerij G. Kolff & Co. Jakarta dan juga cabangnya di Surabaya berubah jadi Percetakan Gita Karya; N.V. G. Kolff ’s Inktfabriek di Jakarta jadi Pabrik Tinta Gita Karya; dan Nederlands Indonesische Uitgevers Maatschappij Noordhoff Kolff N.V. di Jakarta jadi Penerbitan Noor Komala. Melalui Peraturan Pemerintah No. 24/1962, ketiganya dilebur menjadi Perusahaan Percetakan, Penerbitan dan Pabrik Tinta Gita Karya atau disingkat PN Gita Karya.  

Perjalanan G. Kolff & Co. selama seabad lebih berakhir sudah.  

Buku-buku yang diterbitkan di Hindia Belanda, terutama oleh G. Kolff & Co., mungkin takkan terjejaki dengan baik tanpa peran Gijsbertus Franciscus Ockeloen. Dia bekerja firma di Kolff cabang Surabaya pada Juni 1928. Melalui pengalamannya dalam perbukuan, dari penjualan sampai penerbitan, dia mengerjakan secara serius sejumlah bibliografi Indonesia, baik buku maupun majalah, dari 1871 hingga 1954.  

“Dia tetap di Indonesia selama beberapa tahun, tak kembali ke Belanda sampai 1958...,” tulis John M. Echols dalam “In Memoriam: G.F. Ockeloen, 1904-1966”, dimuat jurnal Indonesia No. 2. Oktober 1966. Ockeloen meninggal dunia tak lama setelah malam tahun baru 1966.  

Gajah mati meninggalkan gading, G. Kolff & Co. mati meninggalkan buku. Ya, mesti gedungnya telah diruntuhkan dan tak berbekas, jejak G. Kolff & Co. abadi dalam buku-buku yang diterbitkannya.*

Majalah Historia No. 36 Tahun III 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
671883b1921e6f6b841babdc