Yang Merdeka dan yang Melawan

Kisah budak-budak yang bebas. Baik karena kebaikan hati sang majikan maupun perlawanan.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Yang Merdeka dan yang MelawanYang Merdeka dan yang Melawan
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

INILAH potret keluarga terpandang di Batavia. Pieter Cnoll, saudagar senior (operkoopman) Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), berpose bersama istri dan kedua putrinya. Mereka ditemani dua ekor anjing peliharaan dan dua budak berkulit eksotis.

Cnoll mengenakan pakaian hitam ala Eropa dan menggenggam tongkat. Cornelia, istrinya yang keturunan Belanda-Jepang, berdiri di sisi kirinya dalam balutan gaun hitam yang anggun dengan tangan kanan memegang kipas. Catharina, putrinya, berdiri menggendong seekor anjing peking dan memegang kipas. Seekor anjing lainnya di dekat kakinya. Sementara Hester, putrinya yang lain, duduk memegangi kotak gading dan sapu tangan.

Di belakang Cnoll dan Cornelia, dua budak pribumi (dua dari 50 budak keluarga Cnoll) mengenakan pakaian tradisional. Budak perempuan berkebaya putih dan mengenakan kain cokelat sedang mengapit keranjang buah. Budak lelaki muda berambut ikal panjang dengan busana baju dalaman, tunik hijau gelap yang terbuka, dan celana selutut, menggenggam buah dan memanggul tongkat.

INILAH potret keluarga terpandang di Batavia. Pieter Cnoll, saudagar senior (operkoopman) Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), berpose bersama istri dan kedua putrinya. Mereka ditemani dua ekor anjing peliharaan dan dua budak berkulit eksotis.

Cnoll mengenakan pakaian hitam ala Eropa dan menggenggam tongkat. Cornelia, istrinya yang keturunan Belanda-Jepang, berdiri di sisi kirinya dalam balutan gaun hitam yang anggun dengan tangan kanan memegang kipas. Catharina, putrinya, berdiri menggendong seekor anjing peking dan memegang kipas. Seekor anjing lainnya di dekat kakinya. Sementara Hester, putrinya yang lain, duduk memegangi kotak gading dan sapu tangan.

Di belakang Cnoll dan Cornelia, dua budak pribumi (dua dari 50 budak keluarga Cnoll) mengenakan pakaian tradisional. Budak perempuan berkebaya putih dan mengenakan kain cokelat sedang mengapit keranjang buah. Budak lelaki muda berambut ikal panjang dengan busana baju dalaman, tunik hijau gelap yang terbuka, dan celana selutut, menggenggam buah dan memanggul tongkat.

Lukisan cat minyak di atas kanvas berdimensi 132x190,5 centimeter itu merupakan karya Jacob Jansz Coeman bertajuk Pieter Cnoll en Cornelia van Nijenrode, hun dochters en twee tot slaaf gemaakte bedienden (1665). Lukisan ini memberikan gambaran utuh orang kaya di Batavia abad ke-17. Selain pakaian mewah, perhiasan mahal, peliharaan dan perabot-perabot mahal, kepemilikan budak menjadi penanda status sosial.

Budak lelaki dalam lukisan itu adalah Untung Surapati.

“Baru sekitar tahun 1986 sosoknya diidentifikasi (sejarawan) Leonard Blussé,” ujar Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), merujuk buku Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia.

Untung Surapati memang bukan figur sentral dalam lukisan itu. Sebagai budak pelayan, ia diposisikan di bawah bayang-bayang keluarga tuannya. Namun ia bukan sembarang orang. Ia kondang jadi lawan sengit VOC di abad ke-17.

Lukisan karya Jacob Jansz Coeman tahun 1665 tentang Pieter Cnoll dan istrinya, Cornelia van Nijenrode, dan putri mereka serta dua budak, salah satunya Untung Surapati. (Rijksmuseum).

Budak atau Anak Raja

Untung Surapati adalah budak dari Bali, yang kala itu dikenal sebagai negeri penyuplai budak di Nusantara. Kiprahnya terekam dalam banyak karya sastra klasik: Babad Tanah Djawi, Babad Suropati, Babad Trunajaya-Surapati, Babad Blambangan, dan lain-lain.

“Tentu saja karena banyak versi, cerita yang sebenarnya sering dilebih-lebihkan, bahkan dimitologisasi. Seperti ia sebenarnya bukan budak, masih keturunan penguasa Mataram,” ujar Sri Margana.

Sejak kecil Untung menjadi budak Pieter Cnoll, yang kemudian menjabat operkoopman VOC. Menurut Leonard Blussé dalam Strange Company, penghasilan resminya tidak spektakuler, sekitar 120 gulden. Tapi sebagai kepala dagang ia memegang kunci kas Kompeni dan sebagian besar uang tunai yang dikumpulkan dan dikeluarkan dari kantor pusat Kompeni melalui tangannya. “Tak heran jika ia segera menjadi salah satu warga terkaya Batavia.”

Di puncak kariernya, Cnoll menugaskan Coeman untuk melukis potret keluarga. Saat lukisan itu dibuat, Cnoll memiliki tujuh anak. Tapi dalam lukisan, hanya Catharina dan Hester yang terlihat. Tiga anak lainnya lahir kemudian. Namun, menurut Blussé, hanya Cornelis yang hidup sampai dewasa.

Babad Tanah Jawi menyebut Surapati, yang nama aslinya Surawiraaji, adalah budak Kapten Van Berber, yang kemudian dijual kepada Kapten Moor. Sejak itu karier Moor melesat cepat; menjadi mayor, kemudian komisaris, dan akhirnya kepala dagang (edel heer) VOC. Karena dianggap pembawa keberuntungan, Surawiraaji diberi nama “Untung”.

Ada sisi menarik soal nama itu. Menurut Maria Holtrop dalam “Surapati: From Enslaved Servant to Sovereign” yang termaktub dalam buku katalog Slavery: The Story of João, Wally, Oopjen, Paulus, Van Bengelen, Surapati, Sapali, Tuka, Dirk, Lohkay, pemberian nama Untung oleh orang-orang Eropa kepada para budak bukan hal langka. Karena dianggap properti, budak biasanya diberi nama-nama baru yang mudah dilafalkan para tuan. Banyak di antara mereka yang diberi nama Untung.

Kisah babad berlanjut. Saat berusia 20 tahun, Untung dijebloskan ke penjara oleh Moor karena menjalin hubungan asmara dengan putrinya, Suzanne. Untung bersama beberapa tahanan lain kemudian kabur dari penjara dan membentuk kelompok pemberontak.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Karena banyak versi, cerita Untung Surapati yang sebenarnya sering dilebih-lebihkan, bahkan dimitologisasi. Seperti ia bukan budak tapi masih keturunan penguasa Mataram.</div>

Berbeda dari versi babad, orientalis Jerman Georg Meister dalam Der Orientalisch-Indianische Kunst-und Lust-Gärtner (The Oriental-Indian Art and Pleasure Gardener) mengatakan, Surapati melarikan diri setelah kematian Cnoll.

“Sementara Surapati dipromosikan sebagai pembawa payung oleh ayahnya, ia segera ditekan oleh putranya [Cornelis, setelah kematian ayahnya] untuk semua jenis pelayanan [yang di bawah statusnya],” catat Meister.

Payung memang lazim digunakan para elite Eropa, meniru yang dilakukan bangsawan Jawa. Namun Maria Holtrop menyebut yang kerap dibawa Untung bukanlah payung tapi panji atau bendera keluarga Cnoll.

Sebagai warga bebas, Cornelis memang tak dizinkan membawa panji. Yang diperbolehkan hanya mereka yang berpangkat saudagar senior dalam hierarki VOC. Tapi perlakuannya terhadap Untung memberi dampak yang tak terduga.

Meister menyimpulkan, “walaupun menurut kebiasaan dan Bataviasche Statuten, saudagar kelas atas Cnoll mewariskan budak-budak dan barang bergerak lainnya kepada putranya, ia akan lebih bijaksana untuk membebaskan Surapati karena pengabdiannya yang setia, seperti yang sering dilakukan oleh orang kaya setelah kematian mereka.”

Pembebasan budak tak disebut dalam surat wasiat Cnoll. Bahkan, menurut Blussé, tak ada klausul mengenai nasib 40 budak dalam surat wasiat Cnoll, yang dibuat di depan notaris pada 15 Februari 1672 atau dua hari sebelum Cnoll meninggal dunia. Untung kemudian diwariskan kepada Cornelis ketika beranjak dewasa.

“Seperti dalam masyarakat kolonial Portugis, para pemilik budak Batavia akan memasukkan klausul dalam surat wasiat mereka yang menyatakan bahwa budak yang paling dekat dengan tuannya akan dibebaskan, sementara yang lain akan menerima sejumlah kecil uang. Kelalaian ini harus dibalas nanti,” catat Blussé.

Lukisan Cornelis Chastelein di Srengseng tahun 1695 yang disimpan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Budak Merdeka

Sejak awal abad ke-17, di luar tembok kota Batavia, bermunculan orang-orang yang disebut mardequa dalam bahasa Portugis atau mardijkers dalam bahasa Belanda. Mulanya sebutan itu merujuk pada bekas budak Portugis yang dimerdekakan. Di kemudian hari sebutan itu meluas untuk para budak yang dimerdekakan Belanda.

Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad ke-17 mencatat, sekira 70 kaum mardijkers sudah eksis di Batavia sejak 1618. Mereka dimerdekakan karena sudah beralih keyakinan dari agama masing-masing ke Nasrani.

Setelah bersedia berpindah agama, VOC kemudian memberikan mereka sebuah areal pemukiman baru di luar kota Batavia, yang sekarang ini dikenal sebagai wilayah Kampung Tugu.

Untuk membangun Batavia, VOC membutuhkan banyak tenaga kerja. Maka, didatangkanlah budak-budak tawanan dari sejumlah wilayah taklukannya. Dalam perkembangan selanjutnya, sumber utama budak berasal dari Kepulauan Nusantara. Budak kemudian jadi komoditas yang diperjualbelikan. Kisah pilu para budak mewarnai sejarah VOC.

Selalu ada pengecualian. Arsiparis kolonial Frederik de Haan dalam kumpulan arsipnya, Priangan: De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 terbitan 1912 mencatat kasus langka di mana commandeur VOC Abraham Bouden membebaskan budak dan mendirikan sebuah wilayah bebas budak di Minangkabau.

“Abraham Bouden, commandeur van Sumatra’s Westkust yang pada 1694 mendirikan sebuah koloni bebas budak, ‘Heer Abraham Bouden’s Land’, di mana para keturunannya mempraktikkan hak-hak (sistem, red.) feodal, seperti halnya sejumlah tuan tanah Prancis di Kanada,” ungkap De Haan.

Belum ada catatan lebih lanjut berapa jumlah budak yang dimerdekakan Bouden. Koloni bebas budak itu juga tak bertahan lama karena dikecam dan dihentikan para pejabat VOC di Batavia dua tahun kemudian.

Koloni yang dibuat Bouden mirip dengan koloni Cornelis Chastelein di Depok di kemudian hari. “Yang menjadi pembeda dari warisan Chastelein adalah, saat memerdekakan budak itu, Bouden masih hidup,” tulis Nonja Peters dalam The Christian Slaves of Depok: A Colonial Tale Unravels.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Setelah Cornelis Chastelein meninggal, para budaknya menjadi orang merdeka. Lahan miliknya di Depok diwariskan kepada para budaknya.</div>

Cornelis Chastelein adalah salah satu pejabat tinggi VOC dengan jabatan saudagar senior kelas dua (tweede operkoopman). Pada 1691, ia mengundurkan diri dari VOC karena tak setuju dengan kebijakan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691–1704) dan tak akur dengan Direktur Jenderal VOC Joan van Hoorn.

Namun, sebagai penghargaan atas jasanya selama berkarier di VOC, Chastelein dihadiahi tanah di Mampang dan pesangon besar. Dari pesangon itulah ia membeli tanah di suburban (kota pinggiran) Weltevreden (kini Sawah Besar), Pesanggrahan (kini Cinere), dan Depok. Untuk mengurusi lahan-lahannya, ia membeli budak dari Jawa, Bugis, Bali, hingga wilayah timur seperti Maluku dan Nusa Tenggara.

Chastelein tak memperlakukan budaknya bak properti. “Dua budaknya yang pandai baca tulis, Baprima van Bali dan Carangasam van Bali, diperintahkan mengajarkan para budak lainnya setiap sore setelah bekerja di gereja (kini GPIB Immanuel Depok). Media bacanya adalah Bible,” kata Boy Loen, kepala bidang kesejarahan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).

Tidak ada paksaan kepada para budak untuk menukar kepercayaan lama dengan Kristen. Namun, setelah Chastelein wafat pada 1714, sesuai surat wasiatnya, para budak Kristen mendapat warisan lebih banyak dan lahan di Depok lebih luas.

“Setelah (wafat) itu, advokatnya Chastelein, M.H. Klein membacakan wasiat Chastelein bahwa saat ia meninggal, maka para budaknya menjadi orang merdeka, tidak lagi menjadi budak. Lahan Chastelein di Depok diwariskan kepada para budaknya,” ujar Boy Loen. Sejumlah lahan di Depok kemudian diambil alih pemerintah Indonesia dengan ganti rugi.

Apa yang dilakukan Bouden dan Chastelein hanyalah segelintir kisah “manis” kehidupan budak di masa lalu.

Dalam arsip-arsip VOC, terdapat apa yang disebut akta emansipasi. Ia memuat informasi mengenai budak yang dibebaskan. Ada budak yang dibebaskan karena masa kontraknya habis, majikan tak sudi lagi, atau bebas karena perkawinan dengan majikan. Namun jauh lebih banyak budak mengalami nasib buruk. Budak yang melawan, entah minggat, meracuni, atau membunuh majikan, mendapat perlakuan lebih buruk lagi bahkan hukuman mati.

Salah satu perlawanan budak yang terkenal terjadi di Patani, sebuah kerajaan Melayu yang kini provinsi di selatan Thailand. Peristiwa itu dilaporkan Peter Floris, salah satu awak dagang di kapal Kongsi Dagang Hindia Timur Inggris (EIC), dalam His Voyage to the East Indies in the “Globe”, 1611–1615.

Apa yang dikenal sebagai “pemberontakan budak” itu dilakukan budak-budak Jawa pada 4 Oktober 1613. Mulanya, Datoe Besar mendapat laporan adanya ancaman pembunuhan dari budak Jawanya terhadap dirinya dan orang kaya lainnya. Maka, ia memanggil dan menginterogasi budak-budaknya. Mendapat sangkalan, ia marah, mencabut senjata, dan menusuk pemimpin budak.

Tak terima perlakuan tersebut, para budak Jawa mengamuk, membunuh orang-orang yang menghalangi jalan mereka, dan membuat keributan. Budak-budak Jawa milik orang kaya lainnya ikut bergabung. Mereka, berjumlah sekitar 100 orang, kemudian membakar hampir seluruh kota Patani. Mereka melarikan diri ketika pasukan bersenjata datang. Pengejaran dilakukan tapi tak ada gunanya. Hanya mendapatkan 3-4 tawanan yang sakit. Apa yang terjadi dengan sisanya tak diketahui Peter Floris karena harus meninggalkan Patani.

“Suatu hal yang aneh untuk dilihat dan luar biasa untuk diceritakan,” catat Floris.

Barangkali Floris akan merasa lebih aneh lagi jika menyaksikan apa yang dilakukan Untung Surapati lebih dari setengah abad kemudian.

Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah Mada, menunjuk wilayah kekuasaan Untung Surapati dalam peta Jawa tahun 1734. (Riyono Rusli/Historia.ID).

Untung Melawan

Karena mendapat perlakuan buruk, Untung melarikan diri ke Ommelanden, daerah di sekitar kota Batavia. Ia kemudian menjadi kepala perampok dan pengganggu Kompeni.

“Jika keluarga Cnoll menunjukkan penilaian yang lebih baik dan lebih murah hati terhadap budak, mereka mungkin dapat menyelamatkan tentara VOC dari keharusan melakukan sejumlah ekspedisi. Mereka mungkin mencegah kematian ratusan prajuritnya; dan mereka mungkin menghemat ratusan ribu gulden yang dikeluarkan selama 20 tahun berikutnya untuk kampanye mengejar Surapati, yang melarikan diri dan akhirnya mendirikan kerajaannya sendiri di Jawa Timur,” tulis Blussé.

Setelah lama buron, Untung ditemukan dan ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC. Ia dilatih, diberi pangkat letnan, dan ditugaskan untuk menerima penyerahan diri Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, yang melawan VOC.

Dalam perjalanan ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Vaandrig (pembantu letnan) Willem Kuffeler. Friksi pun terjadi. Perlakuan buruk Kuffeler terhadap Purbaya membuat Untung marah dan menyerang mereka. Setelah itu Untung dan pasukannya, yang kembali jadi buronan VOC, memutuskan kabur ke Cirebon.

“Itu persoalan utama tentang cerita-cerita Surapati yang bermula menjadi buruan sampai akhirnya bertualang ke Banten kemudian pindah ke Cirebon dan melakukan tindakan-tindakan politik di sana,” ujar Sri Margana.

Di Cirebon, Untung terlibat perkelahian dengan seorang pangeran Cirebon bernama Surapati. Untung diadili oleh Sultan Cirebon. Saat diadili, Untung dapat melepaskan diri dari tuduhan bahwa ia membangkang terhadap kekuasaan Sultan. Surapati dipersalahkan dan dihukum mati. Untung dianugerahi nama baru dengan nama Untung Surapati.

Kemudian Untung Surapati menyampaikan maksud kedatangannnya. Sultan tak bisa menampung mereka dan menyarankan mencari pengayoman ke Mataram.

Dalam perjalanan, Untung Surapati sempat singgah di Banyumas. Setelah itu melanjutkan perjalanan dan tiba di Kartasura, ibu kota Mataram. Kedatangannya disambut Amangkurat II, penguasa Mataram, yang telah mendengar keberaniannya melawan Kompeni.

“Surapati kemudian diperalat penguasa lokal untuk memerangi musuh. Amangkurat II punya perjanjian dengan VOC yang sangat berat karena terlibat utang untuk mengembalikan posisi kerajaan yang diambil Trunajaya,” ujar Sri Margana.

Ketika VOC berniat menegosiasikan utang itu dengan mengirim Kapten François Tack, Amangkurat II menafsirkannya sebagai upaya penyerangan ke Mataram. Amangkurat II kemudian memerintahkan Untung Surapati untuk membunuh Kapten Tack. Dalam sebuah pertempuran di Kartasura pada 8 Februari 1868, Surapati membunuh Tack.

Lukisan karya Tirto yang menggambarkan Untung Surapati membunuh Kapten Tack di Kartasura. (Tropenmuseum).

Terbunuhnya Kapten Tack digambarkan Tirto dari Grisek dalam sebuah lukisan berjudul De moord op kapitein Tack in Kartasura, yang dibuat antara tahun 1890 dan 1900. Dalam lukisan itu tampak Amangkurat II menyaksikan pertempuran itu dengan teleskop. Pengambaran ini serupa dengan kisah yang dituturkan dalam sejumlah babad, di mana para pembesar kerajaan mengatur skenario agar pertempuran berlangsung di alun-alun sehingga raja bisa menyaksikan dari sitinggil istana.

Menurut Holtrop, Untung Surapati kemudian mundur dan mendirikan pemerintahan di wilayah Pasuruan. Kemungkinan besar sebagai imbalan dari Amangkurat II atas keberhasilannya memukul VOC.

Wilayah kekuasaan Surapati yang sudah bergelar Tumenggung Wiranegara lantas melebar ke timur. Batasnya antara Cadoewang (kini daerah Wonogiri) yang masih dipegang Amangkurat II dan Pannaraga (Ponorogo) di sisi barat, Lodaya (kini Blitar), hingga Pouger (Jember).

“Jadi ia memegang kekuasaan di lebih dari setengah ujung timur Jawa,” ujar Sri Margana.

Keberadaan Untung Surapati sebagai “raja kecil” bukan tanpa gangguan. Dalam Lumajang: Dari Praaksara hingga Awal Kemerdekaan, Sri Margana dkk. mencatat ekspansi Surapati pada akhir abad ke-17 yang mencapai Lumajang mengusik Raja Blambangan Susuhunan Tawangalun. Tapi ekspedisi pasukan Blambangan untuk menghancurkan Surapati justru dikhianati putra raja, Pangeran Senapati, yang disebutkan masih punya hubungan darah dengan Surapati. Raja Blambangan pun meminta bantuan VOC di Batavia untuk menghadapi Surapati dan putranya yang berkhianat.

Pada 1705, VOC mengerahkan pasukan untuk menghancurkan Untung Surapati di Pasuruan. Misionaris Belanda François Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën mencatat, setidaknya terjadi tiga pertempuran besar. Akhirnya, pada 17 Oktober 1706, Untung Surapati tewas setelah pertahanannya di benteng Bangil diserbu pasukan Mayor Goovert Knole.

Kiprah Untung Surapati tak hilang begitu saja. Pada 3 November 1975, pemerintah Indonesia menyatakan Untung Surapati sebagai Pahlawan Nasional. Belakangan Rijksmuseum dalam pameran bertema “Perbudakan” pada 12 Februari–29 Agustus 2021 mengangkat kisah Untung Surapati di Amsterdam, Belanda.

“Ini salah satu contoh yang kemudian peculiar ya. Sehingga Rijksmuseum Amsterdam membuat pameran dan mengambil sosok ini sebagai ikon budak yang mengalami transformasi sosial yang sangat tinggi dari seorang budak, menjadi prajurit Kompeni, lalu menjadi raja kecil di Pasuruan,” kata Sri Margana.*

<div class="video-content"> <video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/video/YANG%20MERDEKA%20DAN%20YANG%20MELAWAN.mp4"></video></div>

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63f60c22f61e3a2f3f165ede