Yati Aruji Kartini Revolusi

R.A. Kartini menjadi inspirasi perjuangan Yati Aruji. Ia menanamkan semangat juang Kartini kepada para wanita anggota Laswi.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Yati Aruji Kartini RevolusiYati Aruji Kartini Revolusi
cover caption
Yati Aruji membawa obor perjuangan prajurit wanita angkatan '45 dalam acara reuni nasional wanita pejuang di Sasono Langen Budoyo, Jakarta tahun 1976. (Dok. Wirawati Catur Panca).

YATI dilahirkan di Pekalongan pada 1918 dari keluarga pejuang. Lima saudaranya perempuan. Ayahnya, Kadhol, aktif menjadi anggota Sarekat Islam. Sementara Ibu Kadhol mendirikan dapur umum untuk karyawan kereta api dan kantor pegadaian yang tergabung dalam Sarekat Islam ketika mereka melakukan pemogokan menuntut penurunan pajak oleh penguasa Belanda.

Karena aktivitas mereka, dua reserse Belanda berjaga-jaga di depan rumah. Tapi Kadhol merasa kasihan kepada kedua penjaga itu dan membuatkan “rumah-rumahan” untuk mereka. Tak jarang ia mengajak kedua penjaga itu untuk ngambeng atau kenduri. “Ibu Aruji dan adik-adiknya masih ingat kedua reserse sering pula mendapat dan membawa pulang berkat dari selamatan itu,” tulis Annie Bertha Simamora dalam Satu Abad Kartini 1879–1979.

YATI dilahirkan di Pekalongan pada 1918 dari keluarga pejuang. Lima saudaranya perempuan. Ayahnya, Kadhol, aktif menjadi anggota Sarekat Islam. Sementara Ibu Kadhol mendirikan dapur umum untuk karyawan kereta api dan kantor pegadaian yang tergabung dalam Sarekat Islam ketika mereka melakukan pemogokan menuntut penurunan pajak oleh penguasa Belanda.

Karena aktivitas mereka, dua reserse Belanda berjaga-jaga di depan rumah. Tapi Kadhol merasa kasihan kepada kedua penjaga itu dan membuatkan “rumah-rumahan” untuk mereka. Tak jarang ia mengajak kedua penjaga itu untuk ngambeng atau kenduri. “Ibu Aruji dan adik-adiknya masih ingat kedua reserse sering pula mendapat dan membawa pulang berkat dari selamatan itu,” tulis Annie Bertha Simamora dalam Satu Abad Kartini 1879–1979.

Seingat Saartje, postur tubuh Yati kecil. “Bicaranya suka campuran Belanda, padahal orang Jawa dari Pekalongan. Kalau Pak Aruji orang Garut,” kata Saartje. Meski bertubuh kecil, “Yati keras dan tegas, mungkin karena tidak punya anak, jadi disiplin sekali. Ia juga keras dalam soal agama, entah orang tuanya atau kakeknya, tokoh PSII,” Tuti menambahkan. “Kalau Pak Aruji bageur (baik hati) dan merakyat, Yati agak menjaga jarak.” PSII singkatan dari Partai Syarikat Islam Indonesia, di mana Yati dan suaminya aktif di sana.

Aruji Kartawinata lahir di Garut pada 5 Mei 1905. Mulanya ia bekerja di swasta hingga kejatuhan kolonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi daidancho Pembela Tanah Air (Peta) Cimahi. Sejak proklamasi, ia bertugas sebagai komandan Badan/Tentara Keamanan Rakyat dan membentuk Divisi III, cikal bakal Divisi Siliwangi. Ia sempat menjabat menteri muda pertahanan Kabinet Sjahrir II lalu duduk di parlemen hingga 1963. Di PSII, jabatan terakhirnya adalah ketua dewan PSII merangkap wakil ketua Muslimin Indonesia.

Keluarga Yati sangat terinspirasi oleh perjuangan R.A. Kartini. Sehingga ayahnya mendirikan Kartinischool di dalam kompleks kabupaten. Sekolah ini didirikan pada 1 November 1916 dengan subsidi dari Vereeniging Kartinifonds, badan penggalang dana yang dibentuk di Den Haag, Belanda pada 26 Februari 1913. Badan ini pula yang mendirikan enam sekolah Kartini lainnya di Semarang, Batavia, Bogor, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Menurut sejarawan Soekesi Soemoatmaja dalam Sekolah Kartini Suatu Usaha untuk Menyebarkan dan Meningkatkan Kecerdasan Wanita pada Permulaan Abad ke XX, Kartinischool di Pekalongan sejak tahun 1928–1937 mendapat subsidi sebanyak f.5.000 (lima ribu gulden), dengan jumlah murid dari 125 orang menjadi 152 orang pada 1937.

Ketika adik Yati lahir pada 1926, orang tuanya memberi nama Kartini Achiriah. Yati dan Achiriah lalu berkecimpung dalam bidang pendidikan sebagai guru. “Perjuangan Kartini menjadi bahan diskusi dalam keluarga itu,” tulis Annie. Mereka mengkaji perjuangan Kartini mengenai pendidikan, perkawinan muda, emansipasi wanita, kebebasan bangsa, dan perjuangan kemerdekaan.

Yati Aruji memberikan sambutan dalam Musyawarah Nasional Wirawati Catur Panca di Palembang, 1–3 Juni 1983. (Dok. Wirawati Catur Panca).

Menurut sejarawan J. Jogaswara dalam Lahirnya Badan-badan Perjuangan dan BKR di Kota Bandung sampai Timbulnya MDPP/MPPP, Yati mendapat pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Normal Kweekschool. Pengalaman organisasi dimulai ketika ia menjadi pimpinan Syarikat Islam Afdeling Pandu Putri (SIAP), kemudian menjadi anggota Kepanduan Muslimin Indonesia. Yati lalu aktif di PSII, menjadi ketua departemen wanita PSII dari tahun 1936 sampai 1940.

Karena itu, Jogaswara menambahkan, yang mendorong Yati terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan dengan mendirikan Laswi, “ingin meneruskan cita-cita dan perjuangan R.A. Kartini. Dengan demikian, ia dapat menghidupkan jiwa perjuangan R.A. Kartini di dalam hati para wanita pada waktu itu (1945–1949).”

“Karena Yati memiliki pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang baik,” tulis Jogaswara, “Laswi sejak berdirinya sudah mempunyai susunan organisasi yang baik.”

Ketika di Laswi, perjuangan Kartini selalu ditanamkan kepada para anggota Laswi. Selesai apel sore, apabila semua anggota Laswi berkumpul di asrama dan magrib pun tiba, sang komandan mulai memberikan ceramah. “Di sinilah para wanita muda itu diberi semangat melalui perjuangan Kartini,” tulis Annie. “Agar mereka sadar bahwa jiwa revolusi itu tidak baru waktu mereka menyandang senjata di garis depan. Juga perjuangan bukan untuk satu kali saja dilakukan.”

Pascapengakuan kedaulatan, Yati dan anggota Laswi kembali ke masyarakat untuk menghadapi tantangan baru. Yati tetap aktif dalam kegiatan sosial politik. Ia menjadi anggota dewan pengurus Yayasan Ibu Sukarno yang digagas Ibu Fatmawati. Yayasan ini mendirikan sebuah rumah sakit khusus anak-anak yang menderita TBC. Sejak 23 Mei 1967, rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Fatmawati.

Yati terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan dengan mendirikan Laswi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan R.A. Kartini.

Yati juga menjadi anggota Jajasan Perdamaian Sukarno yang dibentuk pada 1961. Menurut Ibrahim Isa dalam Bui Tanpa Jerajak Besi, Komite (Jajasan) Perdamaian ini terbentuk setelah kembalinya pemuda-pemudi Indonesia dari Festival Pemuda Sedunia di Berlin yang bertema perdamaian dunia dan demokrasi. Isa sendiri diangkat sebagai sekretaris II, yang kemudian diganti Soeroso, karena ia berada di luar negeri. Jajasan ini dibekukan oleh Presiden Soeharto pada 6 Maret 1972.

Pada 1950-an terjadi ketegangan antara Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Islam. Pasalnya, tulis Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Gerwani terpukau dengan kemajuan dan modernisasi yang dijanjikan sosialisme, yang mengakibatkan diabaikannya kebudayaan tradisional dan agama, khususnya Islam. Gerwani mengkritik praktik adat dan agama, seperti perkawinan, yang masih mendiskriminasikan perempuan.

“Tokoh perempuan yang berusaha keras menjembatani kesenjangan antara Gerwani dan Islam adalah Ny. Aruji Kartawinata dari PSII, Ny. Utami Suryadharma, dan Ny. H. Subandrio, termasuk para tokoh yang simpati pada Gerwani; serta Ny. Aminah Hidayat yang pernah menjadi anggota Gerwani,” tulis Saskia.

Bahkan, PSII menjadi satu-satunya organisasi yang kaum perempuannya kadang-kadang ikut-serta dalam demonstrasi yang dilakukan oleh Gerwani dan Wanita SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) seputar masalah sosial ekonomi.

Menurut Saskia, Ny. Aruji secara garis besar menyampaikan pandangannya tentang Islam dan perempuan dalam seminar tentang perempuan dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, membeberkan tentang kesesuaian Islam dengan “ilmu pengetahuan sekuler”, seperti misalnya menekankan saling mencintai antara suami istri dan kenyataan bahwa Islam tak mencegah perempuan aktif dalam bidang ekonomi.

Aruji Kartawinata, komandan Tentara Keamanan Rakyat, menyambut Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin di Bandung, 23 Maret 1946. (IPPHOS/ANRI).

Simpati Yati terhadap Gerwani berakhir setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965. Menurut Stanley dalam Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan, pada 5 November 1965 dibentuk Seksi Wanita Badan Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu Pusat, terdiri dari Muslimat NU, Wanita Marhaen, Gerwa PSII, Aisyiah, Wanita Perti, Wanita Katolik, PII, dan HMI. Mereka mengorganisasi satu demonstrasi massa yang diikuti 25 ormas, khususnya pelajar dan mahasiswa. Mereka diterima Mayjen TNI Soeharto dan Brigjen TNI Djuhartono. “Sebuah resolusi yang telah disiapkan seksi ini dibacakan Ny. Aruji Kartawinata,” tulis Stanley.

Resolusi tersebut “mengutuk perbuatan Gerwani, yang telah menjatuhkan derajat kaum wanita, dan mendesak kepada presiden agar segera menyatakan pelarangannya terhadap PKI, Gerwani, dan ormas-oramasnya yang lain, demi menyelamatkan generasi muda dari pengaruh dekaden dan kekejaman yang dilakukan organisasi itu.”

Sehati dengan sikap istrinya, Aruji Kartawinata yang saat itu menjadi ketua DPR-GR mendukung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menuntut pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, penurunan harga, dan perbaikan sandang pangan. Aruji menyampaikan tuntutan itu kepada Presiden Sukarno pada 13 Januari 1966.

“Mungkin karena sikap ini Aruji diberhentikan sebagai ketua DPR-GR pada Februari 1966 bertepatan dengan diadakannya reshuffle kabinet,” tulis A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum. Aruji kemudian hanya menjadi anggota biasa DPR-GR (1966–1968). Pada masa Orde Baru, Aruji diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari 1968 hingga wafatnya pada 13 Juli 1970.

Pada 20 Mei 1972, Yati mendirikan Yayasan Ibu Yudha Kencana Bhakti. Ia dengan sekira 50 mantan anggota Laswi mendirikan cabang di daerah-daerah tempat mereka dulu berjuang antara lain Bogor, Bandung, Banten, Serang, Rangkasbitung, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Atas restu Ibu Tien Soeharto, mantan pendiri Laskar Putri Indonesia Surakarta, Yati mengadakan pertemuan akbar eks pejuang wanita dari berbagai kelaskaran pada 6–8 Maret 1976. Hasil reuni memutuskan untuk membentuk wadah yang menampung semua organisasi kelaskaran yang berjuang pada masa revolusi. Yati ditunjuk sebagai ketua pembentukan organisasi tersebut. Akhinya, pada 30 Juni 1976 terbentuk Yayasan Wirawati Catur Panca, yang menampung para mantan pejuang wanita terutama dari Laswi, Laskar Putri Indonesia, Barisan Putri Indonesia, dan Wanita Pembantu Perjuangan.*

Majalah Historia No. 1 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
642a757e0700e3e71897ee99