Bekas kantor Sarekat Islam cabang Semarang di Kampung Gendong.
Aa
Aa
Aa
Aa
BANGUNAN itu seperti terlontar dari masa lalu, berdiri di antara permukiman baru, yang didirikan berpuluh tahun kemudian. Ia kini teronggok, renta, dan hanya menunggu waktu robuh lantas tersisa sebagai puing. Rumput liar tumbuh di pekarangan. Buah busuk dan beragam bebijian terserak di lantai dalam, sisa makan malam kelelawar. Sinar matahari masuk ke dalam ruangan melalui atap yang belubang dan langsung jatuh menerpa lantai yang kotor berdebu.
Bangunan beratap tumpang yang terletak di Kampung Gendong Semarang itu kini lagi tak bertuan. Plang nama yang tergantung di depan rumah memberi petunjuk kegiatan apa yang pernah dilakukan di sana: Yayasan Balai Muslimin, semacam pusat kegiatan sosial bagi warga muslim sekitar. Abdulrosjid, kuncen bangunan itu mengisahkan sebelum rusak bangunan itu digunakan oleh warga untuk salat Jumat dan kegiatan lain. “Dulu banyak pemuda berkumpul di sini,” kata pria berusia lanjut itu sambil memperbaiki alat bantu pendengarannya.
BANGUNAN itu seperti terlontar dari masa lalu, berdiri di antara permukiman baru, yang didirikan berpuluh tahun kemudian. Ia kini teronggok, renta, dan hanya menunggu waktu robuh lantas tersisa sebagai puing. Rumput liar tumbuh di pekarangan. Buah busuk dan beragam bebijian terserak di lantai dalam, sisa makan malam kelelawar. Sinar matahari masuk ke dalam ruangan melalui atap yang belubang dan langsung jatuh menerpa lantai yang kotor berdebu.
Bangunan beratap tumpang yang terletak di Kampung Gendong Semarang itu kini lagi tak bertuan. Plang nama yang tergantung di depan rumah memberi petunjuk kegiatan apa yang pernah dilakukan di sana: Yayasan Balai Muslimin, semacam pusat kegiatan sosial bagi warga muslim sekitar. Abdulrosjid, kuncen bangunan itu mengisahkan sebelum rusak bangunan itu digunakan oleh warga untuk salat Jumat dan kegiatan lain. “Dulu banyak pemuda berkumpul di sini,” kata pria berusia lanjut itu sambil memperbaiki alat bantu pendengarannya.
Tak ada prasasti yang menjelaskan tahun berapa bangunan itu didirikan. Satu-satunya petunjuk yang bisa dilihat tentang masa lalu gedung itu adalah inisial S.I. yang tertera pada lantainya. “Kalau lantai ini dibersihkan ada tulisan SI. Hurufnya dari tegel hitam,” kata Rosjid menunjuk ke ubin di mana tulisan itu tertera.
Huruf SI itu disusun dari ubin hitam dengan cara ejaan lama yang menempatkan titik di antara dua huruf menyingkat nama Sarekat Islam: “S.I.”. Latar belakang ubin berwarna merah dan lis warna kuning tak lagi kentara. Menurut Rukardi, penulis buku Remah-Remah Kisah Semarang, inisial itulah identitas gedung tua tersebut yang memperkuat bukti bahwa bangunan pernah digunakan sebagai kator Sarekat Islam cabang Semarang. “Ini yang membuat saya yakin kalau dulu di sini dulu kantor Sarekat Islam Semarang,” kata Rukardi.
Abdulrosjid menunjukkan inisial SI pada lantai di bekas kantor Sarekat Islam.
Berdasarkan keterangan lisan dari Abdulrosjid, gedung Sarekat Islam itu dibangun pada 1916. Tanahnya sumbangan dari Tas’an bin Tasripin, anak tertua saudagar penyamakan kulit yang juga anggota SI. Sejak 2008 gedung tak lagi digunakan karena mulai rusak dimakan usia. Rosjid juga bercerita tentang rencana Pemkot Semarang yang akan membangun gedung Yayasan Pendidikan dan Kesehatan Muslimin (Puskesmus) di atas lokasi bangunan bersejarah itu. “Di sini akan dibangun gedung, pusat kesehatan masyarakat dan juga sekolah,” kata Rosjid sembari menyodorkan proposal perencanaan pembangunan gedung baru.
Sejarawan dari Universitas Diponegoro Dr. Dewi Yuliati menyayangkan bila bangunan bersejarah itu dibiarkan terbengkalai. “Itu gedung bersejarah, dibangun dengan dana gotong royong anggota Sarekat Islam yang saat itu dipimpin oleh Semaun,” kata Dewi.
Menurut Dewi, gedung itu jadi saksi bisu gerakan politik antipenjajahan di Semarang bergolak sepanjang awal abad 20. “Di gedung itu sering diadakan vergadering (pertemuan, red.), namun kalau vergadering besar biasanya diadakan di alun-alun Semarang,” kata penulis buku Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang itu.
Plang nama Yayasan Balai Muslimin.
Memang bekas-bekas gedung pertemuan masih bisa kentara. Ruang lapang di tengah bangunan menandakan pernah digunakan sebagai tempat pertemuan orang banyak. Podium kayu jati berukuran besar tersuruk di samping pintu masuk utama. “Mungkin Semaun pernah berpidato di podium itu,” kata Rukardi.
Semaun adalah bintang terang pada zamannya. Ia lahir di Mojokerto pada 1899. Mengenyam pendidikan bumiputra rendahan, namun berkemauan keras dan cerdas. Ia sempat bekerja di Staatspoor (SS, perusahaan kereta api) sebagai juru tulis. Pada 1914, ia jadi anggota Sarekat Islam Surabaya. Pada 1915, ia berkenalan dengan Henk Sneevliet, tokoh yang membawa paham Marxisme ke Indonesia. Pada 6 Mei 1917, Semaun terpilih menjadi ketua SI Semarang.
Kegiatan Sarekat Islam sejak masuknya Semaun ke Semarang sangat dinamis dan mengalami radikalisasi. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Tan Malaka, yang kemudian menjadi salah satu ketua PKI sebelum diasingkan ke Belanda, pun menetap di Semarang. Tan Malaka menyelenggarakan sekolah gratis bagi anak-anak buruh anggota Sarekat Islam di Semarang.
Dewi menduga kemungkinan besar sekolah anak-anak buruh yang didirikan oleh Tan Malaka pun menggunakan gedung yang sama. Apalagi melihat fakta gedung tersebut merupakan pusat kegiatan Sarekat Islam cabang Semarang sejak 1916. “Gedung itu juga pernah digunakan sebagai sekolah yang diasuh Tan Malaka, namun sebelum ada gedung itu, sekolah di selenggarakan di rumah-rumah anggota Sarekat Islam,” ujar Dewi.
Tan Malaka adalah anggota Sarekat Islam Semarang. Sejak 1921 ia terpilih menjadi ketua Sarekat Islam Semarang dan ketua PKI setelah Semaun ke Rusia untuk menghadiri kongres buruh. Pada 1922 Tan Malaka diasingkan ke Belanda atas tuduhan subversif karena menggalang pemogokan buruh pegadaian.
Semarang pada awal abad ke-20 adalah pusat kegiatan buruh yang cukup berpengaruh. “Suatu kota yang berkembang pesat. Menjadi pusat kegiatan radikal. Dapat dikatakan lebih radikal daripada suasana di kota-kota lainnya di Jawa,” tulis Dewi dalam bukunya.
Podium terbuat dari kayu jati teronggok di sudut ruangan.
Berbagai ideologi pun berkembang di Semarang dalam kurun waktu itu. Organisasi buruh dan media massa yang mengusung ideologinya masing-masing hadir di Semarang. “Semarang menjadi basis ideologi, mulai dari liberal yang mencita-citakan demokrasi sampai dengan Marxis ada di sini,” ujar Dewi.
Berbagai aliran ideologi yang muncul di Semarang itu tampak dari kehadiran media massa yang mengusung ideologinya masing-masing. Koran De Locomotief yang digawangi Pieter Brooshooft membawa bendera liberal, sementara organisasi kiri menerbitkan medianya sendiri seperti Si Tetap yang diterbitkan oleh Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP).
Sampai hari ini gedung bekas kantor koran De Locomotief pun masih berdiri tegak. Ia terletak di Jalan Kepodang, kawasan kota lama Semarang. Kini bangunan digunakan oleh sebuah bank milik pemerintah. Namun bentuk bangunannya masih seperti aslinya dan jauh lebih terawat ketimbang bangunan bekas kantor Sarekat Islam.
Gedung bekas kantor De Locomotief itu berdiri tak jauh dari gereja Blenduk, satu bangunan kuno lainnya yang berada di kawasan kota lama Semarang. Kantor De Locomotief berada di sudut Jalan Kepodang. Bangunan bergaya Eropa itu masih berdiri tegak dan tak banyak berubah. Pada sudut bangunan yang menghadap ke jalan terdapat pintu dengan teras balkon di lantai dua.
Bangunan-bangunan tua lain masih berdiri berjajar di sepanjang Jalan Kepodang dalam berbagai macam kondisi. Bau pesing menguap sampai ke jalanan. Air sama sekali tak mengalir pada got-got yang menghitam dan dipenuhi sampah. Pedagang kaki lima mencari penghidupan di pinggiran jalan yang terbuat dari susunan paving block.
Bekas kantor koran De Locomotief kini digunakan sebagai kantor bank.
De Locomotief sebagai koran berhaluan liberal memiliki peran penting dalam mendorong ide-ide etik. Pieter Brooshooft, sang pemimpin redaksi, adalah wartawan berhaluan etik yang mendorong pemerintah kolonial meningkatkan kesejahteraan dan intelektualitas rakyat di Hindia Belanda sampai kemudian mereka bisa menjalankan pemerintahannya sendiri. Ide yang benihnya dimulai dari roman Max Havelaar itu kemudian bergulir menjadi sebuah gerakan besar.
Dari koran De Locomotief dapat diketahui bagaimana Brooshooft mengemukakan tuntutannya agar kekuasaan legislatif di Hindia Belanda dipisahkan dengan di negeri Belanda. Ia juga melontarkan gagasan agar dewan kota bukan berasal dari kalangan amtenar (pegawai pemerintahan) saja melainkan juga dari kalangan bumiputra terpelajar.
“Sehingga mereka dapat menentukan anggaran belanja lokal dan masalah lain dari daerah setempat,” tulis Dewi mengutip tulisan Brooshooft di De Locomotief edisi 17 Maret 1887.
Th. Van Deventer, seorang anggota parlemen Belanda melontarkan ide agar pemerintah Belanda membayar utang budi kepada rakyat Hindia Belanda melalui tiga program: edukasi, irigasi, dan emigrasi. Kebijakan itu kemudian dikenal sebagai politik etis yang banyak melahirkan generasi-generasi terdidik di Hindia Belanda. Sukarno dan Hatta dua dari banyak tokoh produk politik etis di zaman itu.
Bisa dibayangkan betapa bersejarahnya gedung kuno bekas lokasi De Locomotief itu, tempat di mana ide-ide brilian dilontarkan. Gagasan perubahan pun pernah sama-sama dilahirkan dari pertemuan-pertemuan di kantor Sarekat Islam di Kampung Gendong. Tak seperti di banyak negeri maju yang sangat sadar akan pentingnya menjaga memorabilia historis, gedung-gedung bersejarah di Semarang banyak terbengkalai.
Sederetan gedung tua yang berdiri tak jauh dari bekas kantor koran De Locomotief.
Sebagai kota yang semarak dengan kegiatan politik antikolonialisme dan imperialisme, Semarang selalu punya kisahnya sendiri. Kota ini di awal abad 20 juga menjadi kota pelabuhan yang ramai. Kegiatan perdagangan melaju pesat: melahirkan dua usahawan yang terkenal pada akhir abad 19, yakni Oei Tiong Ham yang berjuluk Raja Gula dan Tasripin, hartawan yang sukses menjalani bisnis penyamakan kulit.
Rumah peninggalan Oei Tiong Ham masih berdiri di kawasan Gergaji Balekambang. Rumah bergaya Indies itu pada masa kejayaan Oei Tiong Ham berdiri di atas lahan seluas 81 hektar yang merentang mulai Jalan Kyai Saleh, Veteran sampai Jalan Pahlawan. Di lahan seluas itu Oei Tiong Ham memelihara berbagai jenis binatang dan memiliki taman bunga yang cantik. Kini bangunan itu telah beralih fungsi menjadi kafe. Dan tentu kebun binatang serta taman eloknya tak lagi ada karena telah berubah menjadi permukiman umum warga.
Sementara itu Tasripin, saudagar kaya lainnya membangun istananya di Jalan M.T. Haryono, yang kini pada bekas lokasi rumah tersebut berdiri stasiun radio Gadjah Mada. Di kawasan tersebut, Tasripin menjalankan bisnis penyamakan kulit dan menjadi pemasok kulit bagi tentara Hindia Belanda. Usaha lainnya adalah penyewaan rumah yang banyak berdiri di beberapa kampung di sekitarnya, mulai Kampung Kulitan sampai Gandekan.
Semarang menyimpan banyak cerita bersejarah. Kisah-kisah itu terselip di pojok-pojok kampung dan di banyak tepian jalan. Disadari atau tidak, benih-benih pembentukan bangsa ini pernah tertanam di kota yang sempat dijuluki “kota merah” itu. Dan apabila tak ada upaya memeliharanya akan hilang dimakan zaman.*