Ziarah Sejarah di Kota Leiden

Jejak sejarah orang-orang Indonesia yang masih tertatah pada tembok tua dan terserak di berbagai sudut kota Leiden.

OLEH:
Ravando Lie
.
Ziarah Sejarah di Kota LeidenZiarah Sejarah di Kota Leiden
cover caption
Museum Volkenkunde di Leiden, Belanda. (Ravando Lie/Historia.ID).

LEIDEN yang terletak di Provinsi Belanda Selatan memiliki ikatan historis sangat kuat dengan Indonesia. Populasinya hanya berkisar 122.000 jiwa, masih lebih sedikit dibandingkan Kota Pangkal Pinang. Lokasi Leiden hanya berjarak 20 kilometer dari Den Haag (15 menit dengan kereta) serta 40 kilometer dari Amsterdam (30 menit dengan kereta).

Salah satu daya tarik Leiden adalah Rijksuniversiteit Leiden, yang didirikan pada 1575 oleh Willem van Oranje, sekaligus mengukuhkannya sebagai universitas tertua di Belanda. Universitas ini didirikan sebagai penghargaan Willem atas kegigihan penduduk Leiden menahan gempuran Spanyol. Ketika ditawarkan pilihan dibebaskan dari tanggungan pajak atau dibangun sebuah universitas, penduduk Leiden lebih memilih yang kedua.  

Leiden sendiri bukan kota yang asing bagi para pelajar Indonesia. Hampir setiap tahunnya, ratusan pelajar Indonesia datang menimba ilmu di Universitas Leiden, menjadikan kota ini salah satu kota dengan populasi mahasiswa Indonesia terbesar di Belanda.

LEIDEN yang terletak di Provinsi Belanda Selatan memiliki ikatan historis sangat kuat dengan Indonesia. Populasinya hanya berkisar 122.000 jiwa, masih lebih sedikit dibandingkan Kota Pangkal Pinang. Lokasi Leiden hanya berjarak 20 kilometer dari Den Haag (15 menit dengan kereta) serta 40 kilometer dari Amsterdam (30 menit dengan kereta).

Salah satu daya tarik Leiden adalah Rijksuniversiteit Leiden, yang didirikan pada 1575 oleh Willem van Oranje, sekaligus mengukuhkannya sebagai universitas tertua di Belanda. Universitas ini didirikan sebagai penghargaan Willem atas kegigihan penduduk Leiden menahan gempuran Spanyol. Ketika ditawarkan pilihan dibebaskan dari tanggungan pajak atau dibangun sebuah universitas, penduduk Leiden lebih memilih yang kedua.  

Leiden sendiri bukan kota yang asing bagi para pelajar Indonesia. Hampir setiap tahunnya, ratusan pelajar Indonesia datang menimba ilmu di Universitas Leiden, menjadikan kota ini salah satu kota dengan populasi mahasiswa Indonesia terbesar di Belanda.  

Tradisi kedatangan mahasiswa Indonesia ini ternyata sudah berlangsung lama, dimulai jelang akhir abad ke-19. Mereka yang datang ke Belanda pada periode itu, sebagian merupakan putra raja atau bangsawan Jawa. Para orang tua umumnya mengirimkan anak mereka ke Belanda dengan harapan agar sang anak dapat mempelajari bahasa Belanda lebih baik, meningkatkan pengetahuan umum, dan memperoleh orientasi umum mengenai Belanda.  

Pada 1907, jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda sudah mencapai 20 orang. Jumlah ini terus mengalami peningkatan menjadi 400 orang hingga tahun 1940, dan terus-menerus bertambah hingga saat ini. Karena itu, ikatan historis antara Leiden dan Indonesia begitu kental. Jejak-jejak itu masih bisa ditemui kini dalam bentuk bangunan maupun monumen, meskipun setengahnya belum ditandai dengan plang.

Arca Singasari di Museum Volkenkunde telah dipulangkan atau direpatriasi ke Indonesia pada 2023. (Ravando Lie/Historia.ID).

Menelusuri kota mungil ini tak begitu melelahkan, perjalanan bisa dimulai dari Stasiun Leiden Centraal. Luas Leiden yang hanya 23,72 km2 memungkinkan kota ini untuk dikelilingi hanya dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Hanya 300 meter dari Leiden Centraal terdapat Museum Volkenkunde atau Museum Etnologi yang terletak di Steenstraat 1. Museum ini dibuka pertama kali pada 1837, dan menjadikan Volkenkunde sebagai museum tertua di dunia. Ide untuk membuka museum ini berawal dari kesenangan Raja Willem I mengumpulkan benda-benda bersejarah dari Tiongkok, Indonesia, dan Jepang.  

Untuk menampung koleksinya tersebut, maka ia membangun sebuah gedung. Museum Volkenkunde menyimpan 240.000 benda koleksi dan 500.000 koleksi audiovisual dari seluruh dunia yang dibagi ke dalam sembilan ruangan. Salah satu ruangannya, ruangan Indonesia, ternyata sudah diinisiasi sejak 1860. Di dalam ruangan tersebut, pengunjung dapat melihat koleksi arca asli peninggalan Kerajaan Singasari (dikembalikan atau direpatriasi ke Indonesia tahun 2023, red.), puluhan keris bertaburan ornamen yang indah (salah satunya adalah keris milik Cut Nyak Dhien), boneka-boneka yang dihadiahkan kepada Ratu Wilhelmina yang bentuknya merepresentasikan keragaman suku di Indonesia, serta beragam koleksi menarik lainnya. Koleksi tersebut didapat pemerintah kolonial Belanda dari berbagai ekspedisi ilmiah, temuan penduduk Hindia Belanda, rampasan perang, serta pertukaran cenderamata dengan raja-raja lokal.  

Boneka-boneka koleksi Museum Volkenkunde yang dihadiahkan kepada Ratu Wilhelmina merepresentasikan keragaman suku di Indonesia. (Ravando Lie/Historia.ID).

Tak jauh dari Museum Volkenkunde terdapat Indiemonument, yang terletak di belakang museum dan bersebelahan dengan kincir angin terbesar di Leiden, “De Put”. Monumen itu dibangun oleh seniman Gerard Brouwer pada 1999 sebagai bentuk peringatan atas 26 tentara Belanda asal Leiden yang dikirim ke Indonesia antara 1945–1952, tetapi tak pernah kembali.

Monumen itu menampilkan tiga orang laki-laki yang berdiri tegap dengan jarak yang cukup kentara di antaranya. Jarak itu merupakan simbol penghormatan terhadap tentara yang tak pernah pulang. Pada dinding monumen terpampang tulisan “Een afscheid zonder thuiskomt” (Perpisahan tanpa kembali ke rumah). Sejak pertama kali dibangun, monumen ini telah empat kali mengalami perusakan. Sebuah komite bernama “Stop eerbetoon aan kolonialisme” (Berhenti memberi penghormatan terhadap kolonialisme) mengancam akan mengganti patung yang dianggap sebagai simbol pembenaran atas agresi militer yang terjadi di Indonesia antara 1945–1950 tersebut, dengan patung tiga budak Suriname yang melakukan pemberontakan terhadap Belanda pada 1823. Namun, hingga kini Indiemonument masih tetap berdiri tegak.  

Dari Indiemonument kita dapat berjalan menuju Noordeinde 32 yang terletak tak jauh dari rumah kelahiran Rembrandt van Rijn, seorang pelukis kenamaan Belanda. Rumah tersebut merupakan kediaman Ahmad Subardjo yang mana sering dijadikan tempat diskusi politik dan mengadakan berbagai kegiatan Perhimpunan Indonesia. Subardjo sendiri memperoleh gelar “Meester in de Rechten” (Sarjana Hukum) pada 1933 dari Universitas Leiden. Menurut catatan Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-tonggak di Perjalananku, terdapat tradisi bagi mahasiswa Indonesia yang akan menempuh ujian akhir untuk datang ke rumah Subardjo. Mereka akan duduk merenung selama beberapa menit sambil menatap bendera merah putih yang dihiasi dengan kepala kerbau di tengahnya.  

Kegiatan mahasiswa Indonesia di Leiden mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Leiden, salah satunya bekas rumah Ahmad Subardjo. (Ravando Lie/Historia.ID).

Setelahnya, kita bisa berjalan menuju Wasstraat 1. Rumah ini sebelumnya ditempati Dr. Asikin Widjajakusuma dan Dr. Mansur. Setelah kembali ke Indonesia rumah ini diisi oleh tokoh-tokoh pergerakan seperti Abdul Gafar Pringgodigdo, Abdul Karim Pringgodigdo, Soelaiman, Moh. Jusuf. Ali Sastroamidjojo kebetulan juga pernah tinggal sebentar di sana bersama istri dan anaknya.  

Seperti laiknya rumah Subardjo, rumah ini juga kerap dijadikan sebagai tempat diskusi politik para pelajar Indonesia di seantero Belanda. Pada 10 Juli 1927, pukul 10 pagi rumah ini digerebek oleh polisi Belanda yang mendapat info tentang perjanjian rahasia antara Hatta dan Semaoen. Dokumen tersebut tidak dapat ditemukan karena tiga lembarnya sudah dibawa Semaoen ke Moskow, sementara tiga lembar lainnya dibawa Hatta ke Rotterdam.

Tidak jauh dari Wasstraat, kita bergerak menuju Langebrug 7, tempat tinggal Ali Sastroamidjojo. Ali mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Leiden pada 1927. Ali sempat menjadi perdana menteri Indonesia dua periode, tahun 1953–55 dan 1956–57. Jabatan lain yang pernah didudukinya adalah Menteri Penerangan, Menteri Pengajaran, dan Wakil Ketua MPRS.

Ali ditangkap oleh polisi Belanda, hanya beberapa hari sebelum ujian skripsinya. Dia dituduh melakukan pergerakan subversif bersama mahasiswa Indonesia lain di Belanda. Bersama dengannya ditahan juga Mohammad Hatta, Nazir Pamoentjak, dan Abdulmadjid Djojoadhidiningrat. Setelah mengajukan banding, Ali diperkenankan untuk melaksanakan ujiannya, tetapi dengan pengawasan ketat dari polisi Belanda. Ujian tersebut berjalan dengan lancar dan Ali berhasil merengkuh gelar sarjananya. Tanpa bisa berbicara dengan istrinya, Ali kembali mendekam di tahanan.

Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV). (Ravando Lie/Historia.ID).

Di Reuvensplaats 2, berdiri bangunan kantor Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV, Lembaga Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah, dan Kebudayaan) yang didirikan pada 1851. Awalnya lembaga ini berpusat di Delft sebelum dipindahkan ke Den Haag hingga kini berada di Leiden. Ratusan juta buku, jurnal, majalah dan koran, serta ribuan koleksi kartu pos, foto, peta, naskah kuno dan gambar terdapat di bangunan ini. Tiga perempat koleksinya berkaitan dengan Asia Tenggara, terutama Indonesia. Koleksi KITLV bahkan melebihi jumlah koleksi yang dimiliki Perpustakaan Nasional Indonesia. Sejak 1969 sampai sekarang, KITLV memiliki perwakilan di Jakarta.  

Di tembok samping KITLV kita juga dapat melihat puisi dinding “Elong” yang berasal dari abad ke-19 dan ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Puisi ini diresmikan oleh walikota Leiden pada 23 Juni 2001 bertepatan dengan peringatan 150 tahun berdirinya KITLV. Leiden memang dikenal juga sebagai kota puisi. Proyek “muurgedichten” (puisi dinding) pertama kali dirintis pada 1992 oleh Yayasan Tegen-Beeld.  

Hingga kini terdapat lebih dari 100 puisi dari berbagai negara yang menghiasi dinding kota Leiden. Selain puisi “Elong” terdapat juga dua puisi asal Indonesia lainnya, yaitu puisi Chairil Anwar berjudul “Aku” di Kernstraat 17a dan puisi Ranggawarsita berjudul “Zaman Edan” di Kraaierstraat 34. Kedua puisi tersebut diusulkan oleh Instituut Indonesische Cursussen (IIC) dan kemudian diresmikan berturut-turut pada 17 Agustus 1995 dan 1997.

Bait puisi Ranggawarsita berjudul "Zaman Edan" menggunakan aksara Jawa tertatah pada tembok di gang 2e Haverstraat, Leiden. (Ravando Lie/Historia.ID).

Salah satu spot terindah di Leiden terletak di Rapenburg. Di sepanjang jalan itu kita bisa melihat bangunan-bangunan historis nan megah masih berdiri gagah di tepian kanal. Filsuf seperti Rene Descartes, ahli flora dan fauna Jepang Philipp von Siebold, tercatat pernah menempati kawasan ini. Sementara itu, di Rapenburg 61 kita dapat melihat nama Snouck Hurgronje terukir di pintu masuk gedung yang kini digunakan sebagai kantor International Institute for Asian Studies (IIAS).  

Snouck sempat tinggal di sana selama berkarier di Leiden. Lahir di Oosterhout pada 1857 dan meninggal di Leiden pada 1936, Snouck menyelesaikan studi doktornya pada 1880 dengan judul disertasi “Het Mekkaansche Feest”. Pada 1881, ia diangkat sebagai profesor di Universitas Leiden dan pada 1884, ia memutuskan ke Jeddah untuk lebih mendalami Islam hingga kemudian memutuskan untuk memeluk Islam. Bakat Snouck dalam ilmu keislaman dan juga kecakapannya dalam bergaul dan berbahasa Melayu, membuat Van Heutsz melirik Snouck untuk dijadikan penasihat dan mencari solusi mengakhiri Perang Aceh. Pada 1906, ia kembali ke Leiden untuk kembali menekuni karier akademiknya, dan kemudian ia menjadi rektor di universitas yang sama.  

Tidak jauh dari rumah Snouck, tepatnya di Rapenburg 67–73, berdiri juga Academiegebouw. Bangunan ini merupakan bangunan tertua yang dimiliki Universitas Leiden. Pada 1516–1581 bangunan ini digunakan sebagai gereja untuk the Dominicans of Maria Magdalena. Namun, sejak 1581, bangunan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Universitas Leiden. Kini Academiegebouw digunakan untuk acara-acara seremonial seperti wisuda atau promosi mahasiswa.  

Di gedung itulah banyak tersimpan memori tentang para cendekiawan Indonesia. Nama-nama seperti Yap Thiam Hien, Hoesein Djajadiningrat, dan Anak Agung Gde Agung tercatat pernah melakukan “defense” di sini. Khusus nama terakhir, bahkan namanya diabadikan dalam sebuah plakat di dalam Zweetkamertje bersanding dengan nama-nama terkemuka seperti Nelson Mandela, Ratu Beatrix, hingga Winston Churchill.

R.M. Panji Sosrokartono. (Repro Di Negeri Penjajah).

Tak jauh dari Rapenburg terdapat rumah yang pernah dihuni R.M. Panji Sosrokartono dan R. Soetan Casajangan Soripada. Sosrokartono pelajar Indonesia pertama yang berkesempatan menimba ilmu di Belanda. Lahir dari keluarga ningrat di Jepara pada 1877, Sosrokartono anak Bupati Jepara R.M. Adipati Ario Sosroningrat, sekaligus kakak dari Raden Ajeng Kartini. Di masa itu, hanya Sosrokartono saja orang Jawa yang memiliki diploma Hogere Burgere School (HBS), yang menjadi tiketnya untuk pergi ke Negeri Belanda. Semula Sosrokartono belajar di Sekolah Politeknik di Delft, tetapi karena merasa tidak cocok, ia memutuskan untuk pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.  

Di Leiden, Sosrokartono berkenalan dengan H. Kern, seorang Indonesianis sekaligus mahaguru studi Indonesia di Universitas Leiden, dan direkomendasikan sebagai anggota KITLV pertama yang berasal dari Indonesia. Hanya dalam waktu beberapa tahun, ia berhasil menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku. Tidak mengherankan bila ia kemudian didaulat sebagai orang Indonesia pertama yang berpidato di depan “Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda ke-XXV” pada 29 Agustus 1899, dan kepala penerjemah untuk semua bahasa yang digunakan Liga Bangsa-Bangsa (1919–1921).  

Selama di Leiden, Sosrokartono tinggal seatap dengan Soetan Casajangan Soripada, seorang Batak yang lahir di Tapanuli pada 1876. Casajangan merupakan anak dari satu-satunya kepala di Tanah Batak yang sempat mengenyam pendidikan Barat. Pada 30 Juli 1905, Casajangan berangkat ke Belanda dengan tujuan menyempurnakan bahasa Belandanya. Namun, Casajangan tidak lulus ujian masuk sekolah guru Belanda karena dianggap belum menguasai betul bahasa Belanda. Akhirnya, dengan bantuan direktur sekolah guru di Haarlem, Casajangan diizinkan untuk sit in di dalam kelas, dan berhasil memperoleh akte guru satu setengah tahun kemudian. Ia baru berhasil mendapatkan akte kepala sekolah pada 1912.

Soetan Casajangan Soripada. (Repro Di Negeri Penjajah).

Menurut Harry Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Casejangan sempat menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuysen di Universitas Leiden untuk mata kuliah Bahasa Melayu, Sejarah Indonesia, Islam, Daerah dan Penduduk Indonesia. Dia juga dikenal sebagai salah satu pencetus awal terbentuknya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).  

Destinasi jejak sejarah Indonesia terakhir adalah Hogewoerd 49, tempat pertama kali diadakannya rapat untuk membentuk Indische Vereeniging pada 25 Oktober 1908. Di bangunan yang terletak di pojok jalan itulah R.M. Soemitro ditunjuk sebagai pemimpin rapat (kemudian menjadi sekretaris dan bendahara perhimpunan) dan Hoesein Djajadiningrat sebagai sekretaris sementara. Konsep AD/ART Indische Vereeniging dibahas pertama kali di sana. Sebanyak 15 orang hadir dalam rapat tersebut, di antaranya Casajangan yang kemudian ditunjuk sebagai ketua pertama perhimpunan. Nama Indische Vereeniging kelak berganti menjadi Indonesische Vereeniging dan kemudian Perhimpunan Indonesia.  

Bagi yang rindu masakan Indonesia, jangan cemas karena Leiden memiliki empat restoran Indonesia yang rasanya lumayan bisa menuntaskan kerinduan atas citarasa makanan negeri sendiri. Leiden serupa kampung kecil dengan begitu banyak jejak sejarah orang-orang Indonesia di dalamnya.*

Penulis adalah alumunus Universiteit Leiden, Belanda.

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66973e5142d392340732d24d