Citarasa Hadrami, Citarasa Indonesia

Orang-orang Arab ikut memperkaya khazanah kuliner di Indonesia.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Citarasa Hadrami, Citarasa IndonesiaCitarasa Hadrami, Citarasa Indonesia
cover caption
Toko Arab di Jawa. (Wereldmuseum Amsterdam).

SEJARAWAN Yunani, Herodotus, pada abad kelima sebelum masehi mencatat munculnya keingintahuan orang Barat akan asal-muasal rempah-rempah. Namun, pedagang Arab yang kala itu menjadi perantara niaga rempah di Eropa berhasil menyembunyikan asal-usul rempah-rempah itu.  

Dalam The Spice Route karya Jhon Keay disebutkan ketika orang Arab ditanya muasalnya rempah, mereka hanya menjawab bahwa kayu manis, salah satu jenis rempah, asalnya dari sarang burung. Burung-burunglah yang membawa potongan kayu manis itu dan menjadikannya bagian dari sarang. Dari mana burung-burung menemukan kayu manis? Hanya burung-burung itulah yang tahu.  

Sedemikian mahalnya harga rempah kala itu menjadikan informasi keberadaannya harus dirahasiakan.

SEJARAWAN Yunani, Herodotus, pada abad kelima sebelum masehi mencatat munculnya keingintahuan orang Barat akan asal-muasal rempah-rempah. Namun, pedagang Arab yang kala itu menjadi perantara niaga rempah di Eropa berhasil menyembunyikan asal-usul rempah-rempah itu.  

Dalam The Spice Route karya Jhon Keay disebutkan ketika orang Arab ditanya muasalnya rempah, mereka hanya menjawab bahwa kayu manis, salah satu jenis rempah, asalnya dari sarang burung. Burung-burunglah yang membawa potongan kayu manis itu dan menjadikannya bagian dari sarang. Dari mana burung-burung menemukan kayu manis? Hanya burung-burung itulah yang tahu.  

Sedemikian mahalnya harga rempah kala itu menjadikan informasi keberadaannya harus dirahasiakan.  

Di kepulauan Nusantara, tempat di mana rempah melimpah, orang-orang Arab tak sekadar berdagang. Mereka yang kehabisan bekal lantas membuat makanan sesuai selera lidahnya, tetapi dengan bahan yang tersedia di sini. Bahan makanan mereka yang hampir selalu menggunakan daging dalam jumlah banyak berkawin-mawin dengan bumbu-bumbu seperti jintan, kapulaga, kayu manis, wijen, dan minyak samin.

Pendapat ini disampaikan oleh Andreas Maryoto, jurnalis Kompas yang menulis buku Jejak Pangan. Menurutnya keberadaan orang-orang Arab ikut andil memberi pengaruh pada khazanah makanan. “Meski tidak mudah untuk membuktikan, keberadaan sate, gulai, dan lain-lain kemungkinan menjadi contoh pengaruh mereka (Arab, red.),” tulis Andreas Maryoto.

Nasi kebuli, martabak, gulai, maraq, dan sambosa adalah berbilang nama di antara masakan yang kini dianggap mendapat pengaruh Arab.  

“Bumbu-bumbu yang dipakai biasanya kapulaga, kayu manis, olive oil (minyak zaitun, red.), kadang juga bawang Bombay,” kata pakar kuliner William Wongso ketika diwawancarai Historia. “Cuma yang sering memang pakai daging kambing.”  

Pengaruh kuliner ini mula-mula berkembang di kota-kota pesisir yang menjadi tempat berlabuhnya orang-orang Hadrami. Di Sumatra, tempat di mana orang-orang Arab dan India mula-mula singgah, pengaruhnya dianggap sampai kepada masakan khas orang-orang Minang.

“Kuliner Minang ini tidak berbeda jauh dengan (milik) orang-orang (Hadrami) ini,” ujar Maryoto. “Rendang, misalnya, pernah saya coba jenis makanan di Timur Tengah tak banyak beda rasanya, kecuali santannya karena di sini kelapa banyak tersedia.”  

Pun demikian dengan beragam jenis masakan gulai. Bahkan, di Kabupaten Pekalongan, Ambon, dan Ternate bisa ditemukan gulai kacang hijau. Di Pekalongan, misalnya, bubur yang biasanya disajikan berasa manis justru dipadukan dengan gulai.  

Meski tidak mudah untuk membuktikan, keberadaan sate, gulai, dan lain-lain kemungkinan menjadi contoh pengaruh mereka (Arab, red.).

Kaidah makanan yang “baik dan halal” sesuai ajaran Islam yang diusung para pedagang Arab ikut memberikan warna tersendiri. Bagaimanapun juga peran agama telah turut serta membatasi cara makan para penganutnya, mana yang boleh dan mana yang dilarang untuk disantap. Daging sapi atau kambing diperbolehkan. Sebaliknya, makanan-makanan yang terbuat dari daging babi, misalnya, dilarang.  

Sebagian jenis masakan kini sudah mendarah-daging dengan budaya lokal. Misalnya saja nasi kebuli. Kini, nasi yang disajikan kaya dengan citarasa rempah ini bukan saja dikenal sebagai kuliner orang Arab, tetapi juga sudah jadi milik orang Betawi.  

“Sewaktu ada acara kawinan malah orang-orang Betawi sendiri yang pesan, ‘itu nasi kebulinya jangan sampai lupa’,” kata Guru Besar Ilmu Antropologi Universitas Indonesia Yasmin Zaky Shahab saat diwawancarai di rumahnya di Cawang.

Menurut Yasmin, menu-menu masakan Arab ikut berkembang sekarang ini. “Kalau nasi dulu saya tahunya kebuli, sekarang saya tahu nasi rempah, nasi mandi, yang dulu-dulunya saya malah sama sekali tidak mengenalnya,” ujarnya.

Namun, menelusuri asal-muasal jenis makanan, apalagi menggolongkannya atas dasar pengaruh suatu kelompok masyarakat, bukan perkara mudah. “Kalau Arab, mesti ditentukan Arab yang mana dulu,” kata Wongso. “Misalnya Hadrami, Yaman, justru bumbu-bumbunya yang enteng tadi, beda lagi dengan misalnya dari Yordan atau negeri lainnya.”  

Menurut Wongso, di Indonesia sebenarnya sudah tak ada lagi yang namanya makanan Arab, Tionghoa, atau makanan golongan lain. “Semua orang kenalnya ya itu makanan orang Indonesia,” pungkasnya.*

Majalah Historia No. 15 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668235060b47e9790887be74