TIGA prajurit berbaret merah bata itu terlihat bengis. Dengan popor senjata, mereka menggedor pintu kamar Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution. Namun sang jenderal yang rencananya akan dipaksa menghadap Presiden Sukarno pagi buta itu tidak jua keluar.
Mereka kalap. Senjata menyalak. Seorang di antaranya memberondong tangkai pintu kamar. Nahas, peluru mengenai Ade Irma Suryani Nasution (5), putri bungsu Nasution.
Itulah secuplik adegan upaya penculikan Jenderal Nasution dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film sejarah versi pemerintah ini diadaptasi dari penelitian sejarawan Nugroho Notosutanto bersama penyidik Ismail Saleh dalam Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (1968). Hingga kini, film itu menjadi rujukan utama kesadisan Resimen Tjakrabirawa, unit pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno. Karena merekalah seorang bocah polos terkulai bercucur darah dalam dekapan ibunya, Johana Sunarti Nasution.
TIGA prajurit berbaret merah bata itu terlihat bengis. Dengan popor senjata, mereka menggedor pintu kamar Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution. Namun sang jenderal yang rencananya akan dipaksa menghadap Presiden Sukarno pagi buta itu tidak jua keluar.
Mereka kalap. Senjata menyalak. Seorang di antaranya memberondong tangkai pintu kamar. Nahas, peluru mengenai Ade Irma Suryani Nasution (5), putri bungsu Nasution.
Itulah secuplik adegan upaya penculikan Jenderal Nasution dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film sejarah versi pemerintah ini diadaptasi dari penelitian sejarawan Nugroho Notosutanto bersama penyidik Ismail Saleh dalam Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (1968). Hingga kini, film itu menjadi rujukan utama kesadisan Resimen Tjakrabirawa, unit pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno. Karena merekalah seorang bocah polos terkulai bercucur darah dalam dekapan ibunya, Johana Sunarti Nasution.
“Saya sangat kecewa sekali kok ada yang bisa mengerti (Ade Irma) ditembak. Lha, masak tentara nembak anak bayi. Nembak anak kecil itu gila apa enggak? (Pakai) Logika saja,” ujar Soelemi, berusia 81 tahun.
Soelemi adalah satu dari tiga prajurit Tjakrabirawa itu. Sebagai pelaku, dia menyebut banyak adegan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI tidak sesuai kenyataan.
“Dalam peristiwa G30S, (kesaksian) ini menjadikan pertanggungjawaban buat diri saya yang waktu itu ada di dalamnya,” kata Soelemi.
Masuk Tjakrabirawa
Persinggungan Soelemi dengan Tjakrabirawa dimulai sejak awal 1960-an. Lelaki kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 6 Januari 1940 ini memang sudah memiliki minat menjadi tentara. Dia tidak menampik jika penampilan gagah para serdadu yang sering dilihatnya menjadi pendorong utama. Selain itu, munculnya berbagai “pemberontakan” sejak era 1950-an memicu Soelemi untuk bertekad membela negara.
Setelah mengikuti seleksi tamtama yang ketat, singkat cerita jadilah anggota Angkatan Darat dengan pangkat prajurit satu. Kemampuan fisik yang cakap, intelegensi yang mumpuni, dan keahlian menembak menjadikan anak muda yang saat itu berusia 20 tahun tersebut sebagai bagian dari Batalyon 454 Banteng Raiders atau biasa disingkat BR 454.
Banteng Raiders adalah pasukan elite Komando Daerah Militer VII Diponegoro, Jawa Tengah. Selain berkualifikasi antigerilya, pasukan elite ini dikenal dengan kemampuan lintas udara serta bertempur di rimba dan gunung. Selama bertugas dalam unit pasukan Banteng Raiders, Soelemi sempat diterjunkan ke Irian Barat dalam Operasi Trikora.
Menurut buku Sedjarah Militer Kodam VII Diponegoro, pasukan Indonesia melancarkan Operasi Djataju sebagai infiltrasi dari udara yang terakhir pada 14 Agustus 1962. Enam pesawat Hercules menembus pertahanan radar Belanda dan menerjunkan beratus-ratus pasukan payung di sekitar Sorong, Kaimana, dan Merauke. Dalam penerjunan ini ikut serta satuan Para BR 454 (Team Gagak) yang dipimpin oleh Mayor Untung Sjamsuri sebagai komandan batalyon.
Karena dianggap layak, pada 1963 Soelemi direkrut Resimen Tjakrabirawa. Masih segar dalam ingatannya kala itu ada permintaan dari Menteri Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani kepada Batalyon 454 untuk mengirim prajurit terbaik guna mengikuti serangkaian tes masuk Tjakrabirawa. Mulai dari uji kesehatan, psikologi, hingga pengetahuan kemiliteran. Soelemi melaju terus sampai akhirnya lolos melalui semua tahapan seleksi.
“Intinya, ada tiga persoalan pokok untuk menjadi kualifikasi anggota Tjakrabirawa: memiliki daya tempur yang baik, intelegensi yang tinggi, dan disiplin,” ujar Soelemi.
Soelemi tergabung sebagai anggota Batalyon I Kawal Kehormatan (KK) Tjakrabirawa. Komandannya mula-mula Mayor Eli Ebram kemudian digantikan oleh Letkol Untung Sjamsuri.
Batalyon I dan II KK dihimpun dari Banteng Raiders Angkatan Darat dan Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL). Kedua batalyon ini bertugas di Jakarta. Maka lumrah kalau Soelemi cukup akrab dengan lingkungan Istana Negara dan Istana Merdeka. Dalam menjalankan tugas pengamanan, Soelemi sehari-hari mengawasi tamu-tamu yang keluar-masuk Istana.
<div class="quotes-center font-g">Setiap anggota Tjakrabirawa berasal dari pasukan yang andal. Umumnya mereka berlatar belakang pejuang gerilya yang menonjol. - Sukarno</div>
“Tiap ada tamu agung yang datang, kami yang menjemput ke (Bandara) Kemayoran lalu mengantarnya ke Istana,” kata Soelemi. Salah satu tamu agung yang diingat Soelemi ialah Presiden Prancis Charles de Gaulle pada 1964.
Setiap prajurit Tjakrabirawa diharuskan tangkas dan sigap melindungi presiden dan keluarganya. Adalah wajar jika mental dan fisik mereka terlatih baik. Pengabdian terhadap Bung Karno sebagai kepala negara menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Mereka diindoktrinasi untuk loyal terhadap pribadi, konsepsi, dan revolusi yang didengungkan Bung Karno. Loyalitas tanpa batas ini sesuai dengan semboyan Tjakrabirawa “Dirgahayu Satyawira” yang berarti “Prajurit Setia Berumur Panjang”.
Karena bertanggungjawab terhadap keamanan presiden, perlakuan terhadap anggota Tjakrabirawa agak dikhususkan. Seragam mereka lebih necis dibandingkan pasukan reguler. Kebutuhan makan tercukupi sebab mereka mendapat jatah makan dari dapur Istana. Persenjataan terbilang mutakhir pada masa itu. Soelemi mengenang dirinya mendapat senjata semi otomatis Saiga (SA) buatan Uni Soviet.
“Kalau soal olahraga, itu namanya bola voli kita punya berlebihan, ada setengah gudang. Kita punya sepatu dan pakaian olahraga. Kemudian, untuk pelatihan kungfu atau karate, instrukturnya langsung didatangkan dari Tiongkok dan Jepang,” kata Soelemi.
Aneka fasilitas khusus itu, menurut Soelemi, agaknya cukup membuat kesenjangan dengan pasukan yang lain sehingga menimbulkan kecemburuan.
Posisi dan kedudukan Tjakrabirawa yang berbeda dibandingkan unit pasukannya lainnya dibenarkan oleh Sayidiman Suryohadiprodjo. Sayidiman waktu itu menjadi perwira pembantu bidang Operasi dalam Staf Umum Angkatan Darat (SUAD)-2 berpangkat letnan kolonel. Dalam otobiografinya Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI, Sayidiman menyebutkan bahwa pasukan Tjakrabirawa mendapat perlengkapan dan perlakuan istimewa. Keistimewaan itu mewujud dalam baret merah khusus yang setara pasukan komando dan penghasilan yang lebih banyak daripada pasukan biasa.
“…(Brigjen) Sabur (komandan Tjakrabirawa) membuat kesalahan fatal, sebab dengan begitu dia menimbulkan kebencian semua pasukan yang lain terhadap Tjakrabirawa,” ungkap Sayidiman.
Tjakrabirawa selalu memastikan setiap langkah junjungannya itu aman dan bebas dari bahaya. Mereka tersebar mulai dari istana tempat Sukarno tinggal hingga di lokasi Sukarno menjalankan muhibah kenegaraan. Presiden Sukarno sendiri cukup bangga dengan kinerja pasukan pengawalnya.
“Setiap anggota Tjakrabirawa berasal dari pasukan yang andal. Umumnya mereka berlatar belakang pejuang gerilya yang menonjol,” ujar Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun Cindy Adams.
Dengan dalih melindungi presiden pula, pasukan Tjakrabirawa terseret dalam Peristiwa 1965.
Rencana Operasi G30S
Rabu, 29 September 1965. Siang itu Letnan Satu Doel Arief – komandan kompi C Batalyon I KK Tjakrabirawa tetiba memanggil para anggota kompi termasuk Sersan Satu Soelemi untuk menghadap. Sang komandan kompi mengintruksikan pasukannya agar bersiap menjalankan suatu operasi khusus yang bersifat rahasia: menjaga keselamatan Presiden Sukarno dari ancaman kudeta sejumlah jenderal. Perintah pengamanan presiden ini, kata Soelemi, berasal dari Letkol Untung Sjamsuri, komandan Batalyon I KK Tjakrabirawa.
“Situasi negara dalam keadaan gawat. Nanti pada tanggal 5 Oktober akan terjadi kup dari Angkatan Darat, terutama pada saat Bung Karno berpidato. Dengan pengertian, bahwa yang akan dihancurkan terlebih dahulu benteng pertama presiden, Tjakrabirawa,” begitu penjelasan Doel Arief seperti dituturkan Soelemi.
Tak ada pikiran apapun dalam benak Soelemi selain harus melaksanakan perintah tersebut. Baginya, keselamatan Presiden Sukarno di atas segalanya. “Karena sudah ada informasi Bung Karno mau digulingkan, ya kita persiapkan. Jiwa kita, nyawa kita buat keselamatan dia. Apapun yang terjadi,” kata Soelemi.
Setiap prajurit Tjakrabirawa harus menjaga keselamatan pemimpin besar revolusi Bung Karno. Itulah doktrin Tjakrabirawa yang menjadi pegangan Soelemi, di samping Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Soelemi pun mantap menjalankan misi yang kemudian dinamakan Gerakan 30 September atau Gestapu itu.
“Sebelum Bung Karno meninggal,” lanjut Soelemi, “Kita harus meninggal lebih dulu. Itu sudah ada di dalam dada tiap-tiap prajurit Tjakrabirawa.”
Dalam skema Untung, rencananya Tjakrabirawa akan mendahului gerakan para jenderal. Mereka akan memaksa para petinggi Angkatan Darat itu untuk menghadap Presiden Sukarno guna mempertanggungjawabkan gerakan mereka. Maka dibentuklah regu-regu “penjemput” para jenderal. Masing-masing dikoordinasikan pada malam 30 September 1965.
Tidak semua anggota Tjakrabirawa terlibat dalam operasi ini. Hanya 60-an dari sekitar 3000 anggota Tjakrabirawa. Itu pun berasal dari Batalyon I KK Tjakrabirawa. Bersama dua peleton pasukan dari Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti dari Kodam Jaya, mereka tergabung dalam Pasukan Pasopati.
Tugas utama Pasopati adalah membawa tujuh perwira tinggi Angkatan Darat, yakni, Jenderal Abdul Haris Nasution, Letjen Ahmad Yani (menteri panglima Angkatan Darat), Mayjen Soeprapto (deputi II/administrasi), Mayjen M.T. Harjono (deputi III/pembinaan), Mayjen S. Parman (asisten I/intelijen), Brigjen D.I. Pandjaitan (asisten IV/logistik), dan Brigjen Soetoyo Siswomihardjo (oeditur militer).
Gugus tugas penjemputan dipimpin oleh Lettu Doel Arief di bawah komando Kolonel Abdul Latief, komandan Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti.
Selain Pasopati, pasukan G30S terbagi lagi dalam kelompok Bimasakti dan Pringgodani. Bimasakti berasal dari pasukan Batalyon 454 Diponegoro dan Batalyon 530 Brawijaya, masing-masing lima kompi, yang didatangkan ke Jakarta untuk berpartisipasi dalam parade Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Kelompok ini bertugas dalam operasi teritorial menguasai objek vital seperti Stasiun RRI dan Istana Negara di Jakarta Pusat.
Sementara pasukan cadangan Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), yang kekuatannya paling besar, mempertahankan basis komando di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pringgodani berasal dari satu batalyon AURI dan Pasukan Pembela Pangkalan serta sukarelawan.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/621db9b9ecf4fc65259adbce_Intersection%205.jpg" alt="img"></div><figcaption></figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/621db9b45e74f1d71580b1ec_Intersection%206.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/yang-siap-mati-untuk-bung-karno/Donatus-Donny-Pak-Nas.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Donatus Donny</b><br></span></div></div></div>
Soelemi sendiri kebagian tugas menjemput Jenderal Nasution, yang diberi identifikasi kode sebagai “Nurdin”. Regu “penjemput” Nasution itu dipimpin oleh Pelda Djahurup dari Resimen Tjakrabirawa.
Dalam perencanaan operasi, seingat Soelemi tidak ada arahan khusus. Titik berat penugasan sebatas “mengambil” orang yang dicari, dalam hal ini Jenderal Nasution. Soelemi patuh saja lantaran Tjakrabirawa memang punya otoritas untuk menghadapkan seseorang kepada presiden.
“Jemput Pak Nas, hidup atau mati untuk dihadapkan kepada Bung Karno, karena situasi negara dalam keadaan gawat,” begitulah perintah yang diterima Soelemi.
Menurut Donny Sheyoputra, pengamat sejarah militer Universitas Pertahananan, penjemputan ke rumah Nasution dirancang dengan tidak begitu apik. Yang memimpin operasi, ungkap Donny, seyogianya bukanlah Djahurup. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa regu yang dipimpin Djahurup adalah regu cadangan.
“Ada figur yang sebenarnya diminta untuk memimpin operasi penculikan Jenderal Nasution tapi figur ini tidak datang yang sampai sekarang kita tidak tahu siapa. Sehingga diambillah nama Pelda Djahurup untuk memimpin penculikan itu,” kata Donny.
Spekulasi ini seturut dengan kesaksian Manai Sophiaan mantan duta besar RI di Uni Soviet pada era 1960-an. Dalam Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno tidak Terlibat G30S/PKI, Manai Sophiaan mengatakan satu regu yang telah ditentukan untuk melakukan operasi G30S tidak hadir dalam persiapan di desa Lubang Buaya. Satu regu yang tidak hadir, yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal Nasution, kabarnya dari AURI. Di sisi lain, regu cadangan yang dipimpin Djahurup mempunyai kelemahan, yaitu belum pernah melalui survei medan yang akan menjadi sasaran. Untuk sasaran lain, sudah disurvei oleh masing-masing regu yang bersangkutan.
Tepat jam 03.00, 1 Oktober 1965, regu yang dipimpin Djahurup bergerak dari Lubang Buaya ke kediaman Jenderal Nasution di Jalan Teuku Umar 40, Menteng, Jakarta Pusat.
Pasukan penjemput Nasution, menurut pengakuan Soelemi, diangkut tiga truk dan dua jip. Di dalamnya terdapat pasukan Tjakrabirawa sebanyak 1 peleton. Dalam skema penjemputan, pasukan Tjakrabirawa akan menjadi kekuatan pemukul sementara pasukan yang lain menjadi pendukung atau pengaman. Mereka hanya diberi waktu 20 menit untuk menjalankan operasi secara efektif.
Namun di tengah jalan, regu penjemput Nasution sempat salah rumah dengan menyatroni kediaman Wakil Perdana Menteri II Johannes Leimena yang berdekatan dengan rumah Nasution. Salah seorang polisi pengawal di kediaman Leimena, Aipda Karel Sadsuitubun, yang mencurigai keberadaan pasukan penjemput Nasution melakukan perlawanan kemudian ditembak. Meski nyasar dan memakan korban, pasukan itu terus melanjutkan misi menjemput Jenderal Nasution.
<div class="quotes-center font-g">“Semuanya sudah paham siapa Pak Nas. Makanya, apakah yang ambil Pierre itu (sepertinya) dari ormas (Pemuda Rakyat). - Soelemi</div>
Menjemput Nasution
Setiba di lokasi, pasukan Tjakrabirawa meringkus pasukan yang berjaga di kediaman Nasution. Para penjaga itu segera dirampas senjatanya oleh Tjakrabirawa. Mereka dimasukan ke dalam kamar pos penjagaan lalu dikunci. Alih-alih memakai cara kekerasan, menurut Soelemi, para penjaga itu berhasil dilumpuhkan dengan pendekatan lisan.
“Komandan kami Pelda Djahurup mengatakan agar mereka tidak melawan, karena kami datang terkait dengan perintah langsung Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi,” kata Soelemi.
Setelah membereskan para penjaga, kediaman Nasution dikepung. Sementara itu, tiga orang prajurit Tjakrabirawa yakni Soelemi bersama Prajurit Kepala Hargijono dan Kopral Kepala Soemardjo merangsek ke ruangan depan rumah Nasution. Dia lantas memutar tangkai pintu. Klik, ternyata pintu tidak terkunci sama sekali. Aksi dilanjutkan oleh Soelemi dengan mengetuk pintu kamar Jenderal Nasution secara pelan.
“Secara etika, saya kan menghadap seorang jenderal, enggak bisa dong kayak garong begitu. Apapun masalah politik yang terjadi, saya tetap menghargai dia sebagai seorang Kepala Staf Angkatan Bersenjata,” tutur Soelemi.
Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang membuka pintu kamar. Namun entah kenapa, pintu tersebut tiba-tiba dibanting secara keras dan langsung dikunci kembali. Soelemi panik. Naluri tentara-nya mengatakan bahwa target akan melakukan perlawanan. Maka diperintahkannya Hargijono untuk membuka paksa pintu dengan cara menembak bagian tangkai pintu.
Tretetetetett….! Stengun milik Hargijono pun menyalak. Begitu tembakan berhenti, Soelemi langsung menendang pintu dan langsung merangsek masuk kamar. Mereka mendapatkan Johanna Sunarti, istri Nasution, tengah berdiri dalam jarak sekitar 6 meter sambil menggendong si bungsu, Ade Irma. Tubuh Sunarti terlihat gemetar.
Menurut Soelemi, Ade Irma terluka parah karena pantulan peluru stengun yang dimuntahkan dari senapan Hargijono saat berusaha membongkar pintu kamar Nasution. Soelemi tidak setuju dengan narasi sejarah resmi yang menyebutkan Ade Irma ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa.
“Sebab waktu saya di dalam kamar, belum ada suara tangis. Ketika kita keluar, baru saya dengar suara anak menangis,” ujar Soelemi.
Namun, menurut Donny, kalau terkena pantulan peluru mestinya kedalamannya tidak seperti tertembus tembakan peluru betulan. Bekas-bekas peluru pada pintu menujukkan tembakan diarahkan pada pintu kamar. Tidak ada pantulan lain selain di tembok dalam kamar Jenderal Nasution
“Yang terkena pada Ade Irma Suryani lebih mendekati kenyataan bahwa dia tertembak langsung daripada pantulan peluru. Pintu itulah sasarannya. Ketika dibuka, mungkin Ade tertembak di situ,” kata Donny.
Nasution tidak berhasil ditangkap karena keburu meloloskan diri dengan memanjat tembok samping rumahnya. Justru, sang ajudanlah, Lettu Pierre Tendean yang menjadi korban salah tangkap dan dibawa oleh pasukan penjemput.
Seperti dicatat dalam biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman, Pierre disergap oleh Pratu Idris dan Djahurup. Kepada para penjaga yang telah dilucuti senjatanya, mereka bertanya, “Apakah betul ini Jenderal Nasution?” Para penjaga diam saja walaupun tahu bahwa itu adalah Pierre. Sejurus kemudian, seorang pasukan penjemput meniup pluit menandakan operasi telah selesai.
Dari dalam rumah, Soelemi bersama kedua rekannya bergegas keluar dan tidak melanjutkan pencarian Nasution.
Soelemi sendiri meragukan pencidukan Pierre dilakukan oleh pasukan Tjakrabirawa. Menurutnya setiap prajurit Tjakra tahu betul sosok Jenderal Nasution. Lagi pula Nasution berumur 40-an; tidak mungkin terlihat seperti pemuda berusia 20-an.
“Semuanya sudah paham siapa Pak Nas. Makanya, apakah yang ambil Pierre itu (sepertinya) dari ormas (Pemuda Rakyat),” katanya. Soelemi mengatakan saat itu dirinya kurang begitu tahu keberadaan pasukan dari kalangan sipil dalam operasi penjemputan.
Dengan tertangkapnya Pierre, rombongan penjemput Jenderal Nasution meninggalkan Menteng menuju kembali ke basis pasukan G30S di kawasan Lubang Buaya. Saat tiba, fajar menjelang menyising.
Di Lubang Buaya, Soelemi menghabiskan waktu untuk beristirahat sambil menanti regu penjemput yang lain tiba di tempat yang sama.
Soelemi menyaksikan bagaimana para jenderal yang telah dibawa oleh masing-masing regu pejemput kemudian dieksekusi di sumur galian. Soelemi membantah adanya aksi arak-arakan dan parade penyiksaan para jenderal seperti tersua dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Pelaksanaan terhadap penembakan para jenderal itu, menurut Soelemi, atas dasar hasil musyawarah para pimpinan gerakan, seperti Untung dan Latief.
“Hasil putusan itu dilaksanakan oleh tenaga pelaksana dari Angkatan Udara. Saya masih ingat pangkatnya sersan mayor. Saya di tepi sumur, di dekat pohon pisang. Saat pagi hari mulai terang. Jenderal Prapto kelihatan masih hidup,” ujar Soelemi.
Setelah itu, Soelemi bersama pasukan Tjakrabirawa lainnya masih di Lubang Buaya menunggu instruksi lanjutan.
<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/621dcfea700c96f9722d4d57_ade%20irma.png" alt="img"></div><figcaption>Diorama di Museum Nasution. (Fernando Randy/Historia.ID)</figcaption></figure></div>
Dalam Pelarian
Pasukan Pasopati yang ditugaskan menjemput para jenderal bertahan di Lubang Buaya hingga 2 Oktober 1965. Terbetik kabar bahwa pasukan elite Angkatan Darat (RPKAD) akan menyerang.
Mayor Jenderal Soeharto, panglima Kostrad yang mengambil alih komando Angkatan Darat memerintahkan untuk menggempur markas komando pasukan G30S di kawasan Halim Perdanakusumah. Serangan balasan itu semakin mencuat setelah tersiar berita penculikan terhadap para jenderal Angkatan Darat. Dengan situasi yang berkembang sedemikian rupa, kekuatan G30S membubarkan diri dan pergi ke arah yang berbeda-beda.
Soelemi mendapat instruksi untuk menggabungkan diri dengan pasukan di Jawa Tengah. “Setelah ada siaran (deklarasi Dewan Revolusi) yang disampaikan Kolonel Untung di RRI yang kemudian dibalas oleh Pak Harto, kita mulai mundur. Ada yang ke Jatinegara namun umumnya ke Jawa Tengah,” tutur Soelemi.
Laporan mengenai pasukan Tjakrabirawa yang lari ke Jawa Tengah sampai kepada Wakil Komandan Tjarabirawa Kolonel Maulwi Saelan. Dalam memoarnya Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa,Maulwi mengatakan Lettu Doel Arif yang panik membawa pasukannya “longmarch” dengan tujuan Jawa Tengah, kembali ke pangkalan Banteng Raiders di Srondol, Semarang, tempat mereka berasal.
Dengan seragam Tjakrabirawa yang melekat di badan, Soelemi memulai pelariannya. Di tengah jalan, ada yang menyerahkan diri, tapi ada juga yang melanjutkan perjalanan.Bersama Karsum, rekannya sesama anggota Tjakrabirawa, Soelemi terus berjalan kaki ke arah timur.
Di Ciledug, Cirebon Timur, Soelemi menadah pakaian dari seorang petani yang ditemui untuk menyelamatkan diri, setidaknya supaya identitasnya tersamarkan. Soelemi sempat menawarkan sejumlah uang agar bertukar pakaian tapi ditolak. Akhirnya, dia menodongkan pistol demi mendapatkan pakaian. Setelah berganti pakaian, Soelemi membuang seragam Tjakrabirawa dan senjatanya begitu saja.
“Saya tahu betul bahwa saya telah melangkah ke jalan yang tidak benar. Tapi apapun itu, saya tidak merasa salah sehingga saya merasa perlu hidup,” ujar Soelemi.
Setiba di Cirebon, Soelemi diterima oleh Bupati Cirebon yang kebetulan kenal baik dengannya.
Selama pelariannya, banyak yang memberikan pengarahan kepada Soelemi agar menyerah saja. Katanya, jika sudah bertemu Mayor Jenderal Soeharto, keselamatannya akan dijamin. Satu per satu anggota pasukan Batalion I KK yang terlibat dalam G30S sudah menyerahkan diri. Mereka yang menyerah, kata Maulwi Saelan dalam memoarnya, dijemput oleh tim personalia Resimen Tjakrabirawa untuk kemudian diserahkan kepada pihak yang berwajib. Tapi Soelemi teringat pada ibu, istri, dan anak perempuannya yang baru berusia 40 hari.
Tidak seperti sisa-sisa anggota pasukan di bawah Doel Arief yang melanjutkan perjalanan ke timur, Soelemi justru kembali ke Jakarta. Bukan untuk menyerahkan diri.Berbekal surat keterangan perjalanan dari Bupati Cirebon –orang PNI yang pernah dikawal Soelemi sewaktu perayaan HUT PNI di Senayan Jakarta– Soelemi memboyong keluarganya dari Jakarta ke Cirebon. Dari Cirebon, Soelemi membawa keluarganya ke kampungnya di Purbalingga.
Setelah keluarganya aman, Soelemi mulai menimbang langkah berikutnya. Bertahan dalam pelarian hanya akan menjadi beban bagi keluarga. Soelemi juga tahu bahwa proses hukum telah menanti. Tak ada pilihan lain kecuali menyerahkan diri.
Keputusan itu makin kuat setelah mendapat kabar bahwa kakaknya, seorang polisi, “disandera” demi memancing Soelemi menyerahkan diri. Karsum, kawan Soelemi dalam pelarian, juga sudah menyerahkan diri.
Soelemi akhirnya melaporkan diri ke Kodim Purbalingga. Selama dua bulan, dia meringkuk di sel kantor Polisi Militer Kodam Semarang sebagai tahanan titipan bersama dengan orang-orang tahanan terindikasi PKI. Dari Semarang, Soelemi dikirim ke Jakarta. Usai “singgah” tiga hari di Rumah Tahanan Guntur, Soelemi dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Salemba untuk menjalani pemeriksaan.
“Di sana (Guntur) tiap hari hanya dipukuli. Ada seorang letnan satu CPM asal Ambon mukuli saya sambil bilang: ‘ini anteknya Sukarno’ lalu dihantam,” kenang Soelemi.
Di RTM Salemba, Soelemi beberapa kali diinterogasi oleh tim pemeriksa pusat. Mereka mengorek keterangan sejauh mana keterlibatan Soelemi dalam G30S. Di hadapan pemeriksa, Soelemi mengakui apa adanya mengenai perintah atasannya. Soelemi menegaskan bahwa itu dalam rangka memenuhi tugas untuk menyelamatkan pimpinan besar revolusi, sebagaimana kewajibannya selaku anggota Tjakrabirawa.
“Pak Harto sebagai panglima Kostrad pasti mengerti betul Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Jadi kalau prajurit recehan seperti saya hanya menjalankan perintah,” katanya.
Pada pemeriksaan terakhir, Soelemi dipaksa mengaku sebagai seorang komunis. Dia menolak mentah-mentah. Soelemi siap dihukum mati tapi tak sudi menerima predikat sebagai anggota PKI.
“Kalau saya dipaksa untuk mengaku diri sebagai komunis sekalipun saya dibikin cacat sampai mati, saya tidak akan bicara sebab saya memang bukan komunis. Saya adalah TNI, saya adalah tentara,” tegasnya.
Alih-alih mendapat simpati, Soelemi malah disiksa. Jempol kakinya ditarik ke bawah kaki meja, lantas meja itu diduduki petugas. Tidak cukup itu. Badan Soelemi ditetesi sandal karet yang dibakar. Kadang-kadang disetrum sampai terpental. Pulang dari pemeriksaan darah selalu mengucur dan terpaksa ditandu untuk kembali ke selnya.
“Remuk ini semua,” kata Soelemi memperlihatkan sepasang jempol kakinya yang hancur.
Mahkamah Militer Tinggi memvonis Soelemi bersalah karena terlibat dalam G30S. Hakim menjatuhi vonis hukuman mati bagi Soelemi.
Soelemi menerima vonis itu. Baginya, kehormatan sebagai seorang prajurit kalau tidak bertempur, ya mati dalam tugas. “Saya tetap pada sumpah saya sebagai prajurit Tjakrabirawa: mati dulu sebelum Bung Karno mati,” ujar Soelemi penuh rasa bangga.
Namun, atas anjuran penasihat hukumnya, Soelemi mengajukan banding. Vonis hukuman mati akhirnya diganti jadi hukuman penjara seumur hidup.
Sejak ditahan hingga putusan pengadilan, Soelemi mendekam di RTM Salemba.
“Di Salemba itulah neraka jahanam. Betul-betul diperlakukan seperti binatang,” kata Soelemi dalam nada getir.
Selama berbulan-bulan, Soelemi ditempatkan di kamar isolasi yang berada di Blok N. Blok isolasi ini kesohor dengan julukan “Kapal Selam” sebab dirancang agar tahanan tak dapat melarikan diri.
Di kamar sel yang cukup untuk tidur dan membuang hajat itu, Soelemi hanya bisa duduk dan berbaring. Ruangan yang serba minim itu tidak memungkinnya untuk berdiri leluasa. Dirinya harus puas menahan rasa lapar. Kadang kala terpaksa diminumnya comberan atau malah air kencing sendiri. Ada kalanya Soelemi juga menyantap tikus got, kadal, atau cicak yang ditemui di sudut-sudut kamar sel.
Semasa dalam penjara Salemba ini pula Soelemi mengambil keputusan untuk berpisah dari keluarganya. Peristiwa itu terjadi pada 1968. Sang istri pun akhirnya menikah lagi dengan seorang polisi di Purwokerto. Dengan demikian, Soelemi tidak sempat mengasuh dan membesarkan putrinya yang masih bayi.
Perlakuan lebih manusiawi baru dirasakan Soelemi ketika dirinya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Statusnya di sana adalah narapidana politik.
Di penjara Pamekasan, Soelemi sempat belajar keterampilan seni rupa membuat patung. Pengetahuan seni rupa ditimbanya dari para seniman Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang sama-sama dipenjara di Lapas Pamekasan. Keterampilan itulah yang menjadi bekal Soelemi mencari nafkah selepas dari penjara.
Pada Oktober 1980, setelah 15 tahun mendekam di bui, Soelemi keluar dari penjara. Ia menjadi satu dari 10 narapidana politik dengan hukuman seumur hidup yang akhirnya dibebaskan oleh pemerintah karena desakan dunia internasional.
Harapan Soelemi
Nasib Soelemi masih lebih baik dibanding prajurit Tjakrabirawa lainnya yang terlibat dalam G30S. Beberapa rekannya dieksekusi mati di hadapan regu tembak, termasuk Prajurit Kepala Hargijono. Sementara Kopral Kepala Soemardjo dipenjara seumur hidup. Adapun Lettu Doel Arief dan Pelda Djahurup dikabarkan hilang secara misterius. Resimen Tjakrabirawa sendiri akhirnya dibubarkan.
Namun trauma tidak serta merta pergi begitu saja dari hidup Soelemi. Pengalaman pahit sebagai pesakitan politik kerap kali mendera bak mimpi buruk. Tak jarang di tengah tidurnya, Soelemi tetiba terjaga sambil berteriak-teriak.
“Seperti kayak mau dibunuh atau dipukuli,” tuturnya.
Selepas dari penjara, praktis Soelemi menjadi orang terbuang. Dia dipecat secara tidak hormat dari ketentaraan. Semua tentara yang masuk kategori terpidana Golongan A, yaitu yang terlibat langsung dalam G30S dicabut tanda jasanya, begitupun Soelemi.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/621db96cd343dd26511b441e_Intersection%209.jpg" alt="img"></div><figcaption>Seorang anggota Brigadir Polisi Wanita dari Cakrabirawa. (Repro)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/621db96b6dbc0b0bea5bb5ba_Intersection%2010.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/yang-siap-mati-untuk-bung-karno/Soelemi-Penyiksaan-di-Penjara.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Sulemi.</b><br>Mantan anggota Cakrabirawa. (Historia.ID).</span></div></div></div>
Hanya ketrampilan seni dekor dan membuat patung yang diperolehnya sewaktu di penjara yang menjadi andalannya untuk tetap hidup.
Pernah dia merantau ke Jakarta, bekerja serabutan bertahun-tahun sebagai petugas pom bensin dan kepala kebersihan. Tetapi rasa kangen terhadap kampung halaman membuatnya kembali lagi ke Purbalingga, mengabiskan masa tua bersama Sri Murni, istri keduanya, dan seorang putra.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Soelemi bahkan dipercayai warga untuk menjabat ketua RT selama 14 tahun. Setelahnya, Soelemi pensiun hingga saat ini menikmati senjakala kehidupan dengan keluarganya.
Soelemi mafhum kehidupannya di masa muda telah direnggut akibat permainan politik kalangan atas yang sama sekali tak dipahaminya. Secara tegas dia menyatakan diri tak bersalah. Namun banyak orang mencemoohnya. Tak ada jalan lain baginya kecuali berserah diri kepada nasib. Itu menjadi penawar pilunya untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Dia hanya berharap sejarah dapat ditulis secara adil, termasuk kesaksian prajurit rendahan seperti dirinya.
“Jangan sampai ada timbul kebohongan-kebohongan dalam memberikan pengertian kepada masyarakat. Kalau saya bohong supaya saya dikatakan benar, saya akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Soelemi. Matanya menerawang seolah tengah mengalihkan kesedihannya di masa lalu.*