Menyingkap Selubung Suci Pembawa Misi

Selain mengabarkan Injil, kedatangan Nommensen ke Tanah Batak membawa prinsip keyakinan supremasi ras kulit putih.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Menyingkap Selubung Suci Pembawa MisiMenyingkap Selubung Suci Pembawa Misi
cover caption
Kompleks Batakmission di Pea Raja, Tarutung, 1910. (KITLV).

INGWER Ludwig Nommensen berusia 27 tahun ketika kapal Pertinax membawanya berlayar dari Amsterdam menuju Padang saat malam Natal, 24 Desember 1861. Setelah 142 hari mengarungi samudra, Nommensen menjejakkan kaki di negeri koloni Hindia Belanda, 16 Mei 1862. Dari Padang, Nommensen menetap sebentar di Barus, kemudian meneruskan muhibah ke arah pedalaman. Dia mengemban tugas suci: memberitakan Injil ke Tanah Batak.

Pada 11 November 1863, Nommensen singgah di bukit Siatas Barita. Dari puncak bukit, dia pandangi lembah Silindung, tempat mukim orang-orang suku Batak asli yang masih merdeka (onafhankelijk gebied). Beristirahat sejenak, lalu dia menghatur doa.  

“Hidup dan mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini, untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu,” demikian doa Nommensen kutip Patar M. Pasaribu dalam Dr. Ingwer Ludwig Nommensen: Apostel di Tanah Batak.

INGWER Ludwig Nommensen berusia 27 tahun ketika kapal Pertinax membawanya berlayar dari Amsterdam menuju Padang saat malam Natal, 24 Desember 1861. Setelah 142 hari mengarungi samudra, Nommensen menjejakkan kaki di negeri koloni Hindia Belanda, 16 Mei 1862. Dari Padang, Nommensen menetap sebentar di Barus, kemudian meneruskan muhibah ke arah pedalaman. Dia mengemban tugas suci: memberitakan Injil ke Tanah Batak.

Pada 11 November 1863, Nommensen singgah di bukit Siatas Barita. Dari puncak bukit, dia pandangi lembah Silindung, tempat mukim orang-orang suku Batak asli yang masih merdeka (onafhankelijk gebied). Beristirahat sejenak, lalu dia menghatur doa.  

“Hidup dan mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini, untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu,” demikian doa Nommensen kutip Patar M. Pasaribu dalam Dr. Ingwer Ludwig Nommensen: Apostel di Tanah Batak.

Doanya tergenapi. Pada 23 Mei 1918, Nommensen meninggal di Desa Sigumpar, tak jauh dari Danau Toba. Hingga dia purnabakti sebagai zendeling (penyebar agama Kristen Protestan), telah berdiri 500 kawasan penginjilan dengan 180.000 jemaat meliputi seluruh Tanah Batak (Tapanuli Utara); 2000 penatua; dan 800 guru sekolah misi. Selama 55 tahun bertugas, Nommensen tercatat sebagai misionaris terlama yang mengabdikan diri di Tanah Batak.  

Orang-orang Batak, memberinya gelar adat yang tertinggi: Ompui (Kakek yang dimuliakan). Gelar Ompui saat itu hanya disematkan pada Si Singamangaraja XII, pahlawan yang dihormati di kalangan Batak tradisional. “Dua orang tokoh besar yang mendapat tempat yang istimewa ini justru masing-masing amat berbeda pendiriannya,” tulis A. Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional: Si Singamangaraja XII.

Ingwer Ludwig Nommensen. (KITLV).

Memulai Misi

Nommensen lahir di Nordstrand, pulau kecil di Jerman Utara, 6 Februari 1834 dari keluarga petani. Pada umur 12 tahun, dia mengalami kecelakaan. Kakinya terlindas kereta kuda saat bermain bersama temannya. “Dia bernazar akan membawa Injil kepada orang kafir kalau kakinya sembuh,” tulis Thomas van den End dalam Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an–Sekarang.  

Nommensen mengikuti sekolah Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen pada 1857. Dia hanya mengecap pendidikan setara sekolah dasar saat memasuki seminari. Bermodal kesederhanaan dan pendidikan rendah, pemikiran Nommensen sangat terpengaruh nilai-nilai yang ditanamkan seminari RMG.  

Di Barmen, para calon misionaris RMG menjunjung prinsip keunggulan ras kulit putih. Direktur RMG, Friedrich Fabri adalah orang paling berpengaruh dalam meletakan dasar pandangan misionaris tentang dunia.  

Menurut Uli Kozok dalam Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, Fabri mengidentifikasi kaumnya sebagai keturunan Yafet, anak bungsu Nabi Nuh yang diberkati. Sedangkan bangsa-bangsa di luar kulit putih adalah para jadah keturunan Ham, anak kedua Nabi Nuh yang terkutuk. Semakin hitam kulit seseorang melambangkan betapa besar dosa yang dikandungnya. Adalah tugas para misionaris untuk menyelamatkan bangsa kulit berwarna dengan memberitakan Injil ke tengah-tengah mereka.  

Fabri terkesan dengan Tanah Batak setelah membaca riset koleganya, ahli botani kebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn. Junghuhn yang disponsori pemerintah Belanda menerbitkan penelitiannya Die Battalander auf Sumatra (1847) yang menyatakan, “Batak merupakan bangsa kecil yang berdiri sendiri dikelilingi oleh bangsa Melayu.”

Fabri melihat adanya kesamaan antara bangsa Germania dan Batak karena keduanya dikepung oleh bangsa sekitarnya. Jerman diancam oleh bangsa Prancis di Barat dan Slavia di Timur. Sedangkan Batak dikepung oleh Melayu. Berdasarkan kesamaan itu, Fabri menggolongkan bangsa Batak ke dalam ras Indo-Germania dengan tingkat kerusakan yang tak terlalu parah.

Niat RMG menjadikan Tanah Batak sebagai ladang misi makin kukuh, setelah banyak misionarisnya di Kalimantan menjadi korban akibat pemberontakan Pangeran Hidayat (Perang Banjar). Selain itu, Herman Neubronner van der Tuuk, ahli bahasa dari Lembaga Alkitab Belanda, telah menerjemahkan sebagian isi Injil ke dalam bahasa Batak.  

Para siswa Batakmission untuk Sekolah Guru di Sipoholon, Tarutung, 1910. (KITLV).

Empat tahun menimba ilmu di RMG, Nommensen diurapi sebagai pendeta. Dia langsung mendapat tempat penugasan: Tanah Batak. Fabri mengutus Nommensen ke sana untuk mendirikan Batakmission. Sebelum menjalankan tugasnya, Nommensen memperdalam pengetahuan bahasa Batak dari van der Tuuk.

Setibanya di Tanah Batak, Nommensen mendirikan perkampungan yang dinamainya Huta Dame (kampung damai) sebagai basis penginjilannya. Berbekal pengetahuan dari Seminari Barmen, Nommensen menangkap kesan terhadap orang Batak: primitif, liar, dan para raja penguasa huta (kampung) gemar bertikai.  

Semula Nommensen hendak menargetkan raja-raja Batak untuk ditobatkan menjadi Kristen. Namun, tak banyak raja-raja yang percaya pada orang asing seperti dirinya, kecuali Raja Pontas Lumbantobing. Dengan nada kebencian orang kulit putih disebut sebagai si bottar mata (si mata putih). Nommensen lantas mengalihkan calon umatnya kepada unsur masyarakat terpinggirkan dengan pendekatan pendidikan dan kesehatan. Hingga tahun 1870, menurut Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, sudah berdiri 10 sekolah zending Batakmission di lembah Silindung.  

Jumlah pengikut Kristen meningkat ketika Tanah Batak dijangkit wabah kolera dan cacar air. Pengetahuan sanitasi yang tidak memadai dan kebiasaan buang air besar sembarangan di kalangan penduduk memungkinkan wabah ini merebak. Karena para misionaris memberikan pelayanan medis cuma-cuma, berduyun-duyun penduduk mencari perlindungan ke basis Kristen yang telah berpindah di Pea Raja, Tarutung. “Setelah menjalarnya penyakit itu, banyak orang-orang yang datang mendaftarkan diri untuk dibaptiskan sebagai orang-orang Kristen,” tulis Sibarani.  

Orang-orang Batak di Silindung mulai menyadari manfaat yang ditawarkan aktivitas Batakmission: penebusan para hatoban (budak) untuk disekolahkan, pelayanan kesehatan, hingga pendamaian sengketa antarmarga dan huta. Pada dekade ini, populasi Batak yang sudah di-Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik.

Lukisan Si Singamangaraja XII karya A. Sibarani.

Di Antara Sekutu dan Seteru

Batakmission memandang agama asli Batak, yang sesungguhnya tak jauh berbeda dengan Hindu Bali, sebagai kepercayaan kafir yang perlu diberantas. Nommensen melarang praktik kebudayaan lokal seperti tari tor-tor dan musik gondang karena dicap identik dengan upacara keberhalaan. Lama-kelamaan meluasnya pengaruh Kristen memancing reaksi penguasa Tanah Batak: Si Singamangaraja XII.  

Sebagai Raja-Imam, pengaruh Si Singamangaraja XII mulai terancam. Hal ini berkait dengan gerakan Batakmission ke kawasan Toba yang merupakan basis kekuasaan Si Singamangaraja XII. Si Singamangaraja XII mulai melakukan kampanye ke tiap onan (pasar) di Silindung untuk memerangi orang kulit putih.  

Sejak Desember 1877, muncul desas-desus, “Si Singamangaraja akan datang dengan pasukan Acehnya untuk membunuh orang Eropa dan orang Kristen di kalangan penduduk,” tulis W.B. Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja. Berita itu menggemparkan pemerintah kolonial dan juga penginjil Batakmission.  

Nommensen yang melihat gangguan dari Si Singamangaraja XII segera mendatangi pemerintah kolonial di Sibolga. Menurut Uli Kozok, Nommensen-lah yang menganjurkan kepada residen Belanda di Sibolga untuk menganeksasi Tanah Batak. Nommensen meminta agar residen Boyle mengirimkan pasukan, menaklukkan seluruh Silindung menjadi bagian Hindia Belanda.

Semula pemerintah Belanda menolak memasuki Tanah Batak karena dianggap tak punya nilai ekonomi. Namun, lambat laun arti strategis Tanah Batak mulai disadari sebagai wilayah penyangga (buffer zone). Apalagi setelah mencuat kabar laskar Aceh telah berada di Bakara, ibukota kerajaan Si Singamangaraja XII, di Barat Daya Danau Toba.

Tanah Batak yang terletak di antara Aceh dan Minangkabau diproyeksikan untuk membentengi pengaruh Islam. Pemerintah Belanda tidak mau terbentuk poros Islam Aceh-Batak-Minangkabau yang bisa menyulut perlawanan. Bilamana hal itu terjadi maka berpotensi mengancam pusat ekonomi kolonial di Sumatra Utara: Perkebunan Deli yang mulai berkembang. “Pemerintah Belanda sebenarnya tidak mau turut campur dengan Kristenisasi. Yang mereka pentingkan itu hanya satu: uang. Oleh karena itu, harus tercipta kestabilan” kata Uli Kozok dalam korespondensi via skype dengan Historia.  

Pada Maret 1878, terjadilah koalisi antara Injil dan bedil. Nommensen menampung tentara Belanda di gerejanya di Pea Raja. Sembari menunggu pasukan tambahan dari Sibolga, Nommensen mengizinkan pemuda Batak Kristen dipersenjatai menjadi milisi; memerangi kaum sebangsanya. Selanjutnya, dia dan rekannya August Simoneit mendampingi tentara Belanda menaklukkan Balige dan Bakara.

Surat Nommensen kepada RMG, Juli 1878. (Repro Utusan Damai di Kemelut Perang karya Uli Kozok).

Uli Kozok menyandarkan temuannya atas tulisan Nommensen yang diterbitkan dalam majalah mingguan RMG, Berichte der Rheinischen Missionsgesellchaft (BRMG). “Silahkan datang ke Barmen. Arsip (BRMG) itu terbuka untuk umum. Siapa saja bisa minta surat-surat Nommensen yang ditandatanganinya sendiri,” ujar filolog Universitas Hawaii itu.  

Menurut BRMG, Juli 1878, Nommensen dan Simoneit turut serta dalam “Ekspedisi Toba” sebagai pemandu dan penerjemah bagi tentara kolonial. Mereka juga menjadi “utusan damai” untuk meyakinkan para raja huta untuk menyerah. Mereka yang tetap loyal pada Si Singamangaraja XII, huta-nya dibakar dan dikenai denda sebesar 2000 gulden.  

Perlu juga diketahui bahwa orang Belanda waktu itu masih menamakan bahasanya Nederduits (Jerman Rendah). Sementara Nommensen sendiri penutur asli bahasa Frisia yang merupakan salah satu dialek Jerman rendah yang sangat dekat dengan bahasa Belanda. Selain itu, sesuai dengan pelajaran yang diperolehnya ketika belajar di seminari, Belanda dan Jerman masih keturunan ras Germania yang sama. Jadi, kata Uli Kozok, bisa dilihat bagaimana relasi antara Nommensen dengan pihak kolonial.  

Selama dua bulan ekspedisi, diperkirakan ratusan pasukan Batak menjadi korban tewas. Ekspedisi ini menandai dimulainya Perang Toba pertama atau Batak Oorlog. Aksi ini sempat menuai kecaman dari pers negeri Belanda, Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20 Mei 1878, “karena tindakan mereka yang bengis dan keji”.  

Nommensen dalam laporannya di BRMG yang dikutip Uli Kozok juga mengaku prihatin atas orang-orang Batak yang menjadi korban dalam Perang Toba. Namun, Nommensen tetap membenarkan apa yang terjadi dengan dalil, “orang Batak hanya bisa menjadi manusia yang beradab bila berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa yang agung dan mulia”.  

Pada 27 Desember 1878, Nommensen bersama Simoneit menerima kado Natal dari pemerintah kolonial Belanda sebesar 1000 gulden atas jasanya sebagai juru damai. Semua gereja dan sekolah yang rusak akibat serangan pasukan Si Singamangaraja XII diganti rugi oleh pemerintah kolonial. Sejak ekspedisi Toba, subsidi dari pemerintah kolonial untuk pembangunan sekolah-sekolah Batakmission mengalir lancar.  

Pada 1879, berdasarkan Staatsblad No. 353 kota Tarutung ditetapkan sebagai tempat controleur onderafdeeling Silindung. Pemerintah Belanda mulai berkuasa di Tanah Batak. Penyebaran agama Kristen berkembang kian pesat.  

Menurut Daniel Peret dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, gerakan Kristenisasi yang dilakukan Nommensen merupakan yang paling luas dan paling cepat dalam sejarah Nusantara sebelum kemerdekaan.  

Sebaliknya, kedudukan Si Singamangaraja XII kian terdesak. Bersama sebagian pengikutnya, Si Singamangaraja XII hidup dari pelarian ke pelarian menghindari kejaran pemerintah kolonial. Hingga pada akhirnya sang Raja Diraja Batak itu meregang nyawa diterjang peluru tentara elite Marsose tahun 1907.  

Tanah Batak memasuki peradaban baru: peradaban kolonial.

Sekolah Zending di Balige, 1890. (KITLV).

Demistifikasi Sosok Nommensen

Apostel adalah gelar kehormatan lain yang disandang Nommensen. Sejatinya, Apostel –yang berarti rasul dalam bahasa Batak– diperuntukan bagi murid-murid Yesus yang berjumlah dua belas orang. Nama Nommensen juga diabadikan menjadi universitas terkemuka di kota Medan dan Pematang Siantar. Batakmission yang dirintisnya telah melembaga menjadi gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang kini menjadi gereja etnis dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara (4,5 juta anggota).  

“Legendarisasi atas diri Nommensen bermula ketika anaknya, Jonathan Nommensen menerbitkan biografi berbahasa Batak, Ompui Dr. Ingwer Ludwig Nommensen pada 1920-an,” kata Jan Sihar Aritonang dalam Berpikir dan Bertindak Historis Sekaligus Teologis.

Namun, di negeri kelahirannya, Jerman, nama Nommensen tak banyak mendapat tempat dalam penulisan sejarah. Tidak ada sekolah-sekolah yang membubuhkan nama Nommensen di Jerman. Menurut Uli Kozok, hal ini disebabkan keterlibatan Nommensen secara langsung dalam Perang Toba dianggap sebagai hal yang memalukan.  

RMG yang sekarang telah menjadi Vereinigte Evangelische Mission (VEM) secara resmi telah menyatakan pengakuan bersalah atas kesalahan misionarisnya di masa lalu. “Kami terlalu sering menyerah pada godaan persekongkolan dengan para penguasa sekuler dengan mengorbankan saudara dan saudari pribumi,” tulis majalah VEM, In die Welt–fur die Weld, 27 September 1971, dikutip Uli Kozok.  

Jan Sihar Aritonang yang ditemui Historia tak menampik fakta sejarah yang dikuak Uli Kozok. Guru besar Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta ini membenarkan bahwa Nommensen bertindak sebagai kolaborator dalam usaha pasifikasi pemerintah kolonial Belanda di Tanah Batak.  

Kendati demikian, seiring sejalannya misi penginjilan Nommensen dengan penetrasi kolonialisme harus dilihat dari konteks zamannya. Nommensen merupakan produk Jerman abad ke-19. Dalam kurun waktu tersebut, negeri-negeri Eropa dilanda kemajuan peradaban.  

“Abad Kristen, abad penginjilan, disebut juga abad pencerahan. Dan bisa dikatakan pula sebagai abad superioritas, karena di masa itulah puncak kejayaan bangsa-bangsa Eropa; puncak kolonialisme,” kata Aritonang.  

“Nommensen adalah anak zamannya,” pungkas Aritonang.*

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
666bea62a2b87ec9ac69e2e5