Aktor Benyamin S. membintangi Betty, seorang waria, dalam film Betty Bencong Slebor (1978). Film ini mengangkat gambaran waria di Jakarta. (Dok. Sinematek).
Aa
Aa
Aa
Aa
MASIH pukul 10 pagi. “Salon Mami Yulie” di Cilandak, Jakarta Selatan, belum kedatangan tamu. Ruangan salon kelihatan sempit. Peralatan salon memenuhi ruangan. Foto dan piagam penghargaan tergantung rapi di tiap sudut tembok. Tiga foto berlatar kota-kota di Prancis. Keterangan foto bertuliskan “Festival Film Duoarnenez Prancis 2014”.
Yulianus Rettoblaut, 54 tahun, pemilik “Salon Mami Yulie”, menceritakan kisah di balik tiga foto berlatar kota di Prancis. “Aku ke Prancis untuk berbicara bagaimana tentang kehidupan waria di Indonesia,” kata Mami Yulie, panggilan karib Yulianus.
Mami Yulie seorang waria sekaligus pembela hak-hak waria. Dia berpakaian perempuan dalam keseharian. Dia juga memperjuangkan hak-hak dasar waria sebagai warga negara: hak bekerja, berpolitik praktis, mendapat pendidikan, dan menerima jaminan kesehatan.
MASIH pukul 10 pagi. “Salon Mami Yulie” di Cilandak, Jakarta Selatan, belum kedatangan tamu. Ruangan salon kelihatan sempit. Peralatan salon memenuhi ruangan. Foto dan piagam penghargaan tergantung rapi di tiap sudut tembok. Tiga foto berlatar kota-kota di Prancis. Keterangan foto bertuliskan “Festival Film Duoarnenez Prancis 2014”.
Yulianus Rettoblaut, 54 tahun, pemilik “Salon Mami Yulie”, menceritakan kisah di balik tiga foto berlatar kota di Prancis. “Aku ke Prancis untuk berbicara bagaimana tentang kehidupan waria di Indonesia,” kata Mami Yulie, panggilan karib Yulianus.
Mami Yulie seorang waria sekaligus pembela hak-hak waria. Dia berpakaian perempuan dalam keseharian. Dia juga memperjuangkan hak-hak dasar waria sebagai warga negara: hak bekerja, berpolitik praktis, mendapat pendidikan, dan menerima jaminan kesehatan.
Mami Yulie berandil dalam pembuatan dua film dokumenter. Pertama, tentang rumah singgah untuk waria jompo. Kedua, sekitar kehidupan waria di Indonesia. Ide cerita film pertama berasal dari perjuangan Mami Yulie membangun rumah singgah untuk waria jompo pada 2010. Di film kedua, Mami Yulie tampil menjadi juru bicara kaum waria. Dua film itu membawa Mami Yulie ke Prancis.
“Orang Prancis heran, ‘kok waria bisa ya, berkeliaran bebas di negeri mayoritas muslim? Di negeri kami, mereka tak sebebas di negeri kamu.’ Uniknya, pada sisi lain, orang Indonesia kerap menolak, mengejek, dan merendahkan mereka,” ungkap Mami Yulie.
Mami Yulie mempelajari ilmu hukum untuk membela waria. Baginya pendidikan sangat penting. Pendidikan bikin artikulasi gagasan Mami Yulie lebih terstruktur dan terang. Dia fasih berbicara di pelbagai forum untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap waria. “Saya menjelaskan ke mereka tentang identitas, peran, dan posisi waria di Indonesia. Waria itu sudah lama ada di sini. Itu fakta sosial,” tutur Mami Yulie.
Waria dalam berita majalah Siasat, 20 Mei 1951.
Berakar dari Kesenian Tradisional
Orang Indonesia punya konsep percampuran unsur lelaki dan perempuan dalam satu tubuh. Konsep itu lekat dengan kepercayaan dan tradisi lokal. “Di sebagian masyarakat ada ide bahwa orang bisa mengombinasikan unsur-unsur wanita dan lelaki adalah manusia yang luar biasa,” tulis Benedict Anderson dalam “Dari Tjentini Sampai Gaya Nusantara”, kata pengantar buku Memberi Suara Pada Yang Bisu karya Dede Oetomo.
Patung Ardhanari dan Bissu contoh kombinasi unsur perempuan dan lelaki. Ardhanari patung dewaraja pada masa Kerajaan Majapahit. Sebelah kanan berwujud laki-laki, bagian kiri berupa perempuan. Bissu berasal dari Kerajaan Sulawesi pra-Islam. Wujudnya setengah laki-laki, setengah perempuan. Mereka menjadi dukun sakti penyampai pesan para dewa.
Percampuran lelaki dan perempuan dalam satu tubuh lalu mewujud ke dalam kesenian. Reog Ponorogo, kesenian khas Jawa Timur dari abad ke-13, mengenal pergemblakan. Istilah ini merujuk pada kebiasaan para seniman reog (warog) memelihara anak muda nan rupawan. Mereka mendandani anak muda itu selayaknya perempuan. Muncullah istilah gemblak. Warog dan gemblak kadang kala berhubungan seks satu sama lain.
Nun di ujung barat, orang Aceh melahirkan kesenian Rateb Sadati. Snouck Hurgronje, dalam The Achehnese, menggambarkan penampil kesenian ini. Antara lain seorang anak lelaki tampan dengan dandanan mirip perempuan. Namanya Sadati.
Sulawesi pun punya istilah sendiri untuk menyebut lelaki berpakaian perempuan. “…Kawe-kawe dan Calabai merupakan istilah lokal untuk waria,” tulis Tom Boellstorff dalam “Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites” termuat di jurnal Cultural Anthropology Vol. 19, No. 2 (2004). Kawe-kawe dan Calabai bisa menjadi Bissu asalkan mau menerima latihan keras. Aktivitas mereka terangkum dalam catatan pelancong dari negeri Barat pada abad ke-14.
Lalu apakah semua seniman laki-laki itu juga berpakaian perempuan dalam kesehariannya di luar ranah kesenian? Tidak mesti. Tradisi setempat tak membuka ruang laki-laki bertingkah layaknya perempuan dalam keseharian. Maka kebanyakan mereka tetap menjadi lelaki. Baik tingkah polah maupun pakaiannya.
Penguasaan Belanda atas sejumlah wilayah di Nusantara memperketat perihal susila. Homoseksual saja laku terlarang, apalagi laki-laki berdandan menyerupai perempuan dan tampil di khalayak! Belanda hanya mengizinkan polah demikian hidup dalam ranah kesenian. Misalnya pada 1830-an, kelompok Bantji Batavia leluasa menghibur khalayak.
“Penampilnya lelaki muda berpakaian serupa perempuan, kadang kala mengenakan busana Barat dengan kaus kaki panjang dan gelang di sekitar mata kaki,” tulis Pauline Dublin Milone dalam Queen City of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital, disertasi pada University of California, Berkeley.
Hiburan sejenis Bantji Batavia muncul pula di Surabaya, Bali, dan Sumatra. Tiap hiburan punya istilah berbeda untuk menyebut penampil laki-laki berpakaian perempuan. Tergantung tempatnya. Ada papaq, kedi, dan roebia di wilayah Melayu; wandu di Jawa; dan bentji di Bali. Istilah-istilah itu kemudian mengkhalayak seiring dengan perubahan posisi bantji, kedi, papaq, roebia, dan bentji: dari penghibur panggung menjadi pekerja seks jalanan.
Kehadiran banci pekerja seks tersua dalam koran-koran di Batavia pada akhir abad ke-19. Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun mengungkapkan harian Sinar Terang edisi 2 Maret 1889 dan Pemberita Betawi edisi 13 Mei 1901 menulis persoalan banci di Tanah Sareal, Petojo, dan Kebon Jahe. Banci gejala umum di Batavia pada awal abad ke-20. Bahkan, menurut Susan Blackburn, ada satu kampung muncul dari sebuah permukiman banci.
Banci menjajakan diri secara mengendap-endap. Kebanyakan pelanggannya orang Belanda. Sebab, menurut banci, tak seorang bumiputra pun senang dengan layanan mereka.
Hukum susila di Hindia Belanda melarang keras prostitusi jalanan. Termasuk prostitusi banci. Maka mereka tersapu oleh razia polisi susila. Banci menghilang sementara.
Poster film Betty Bencong Slebor (1978). (Dok. Sinematek).
Kemerdekaan Indonesia membuka sedikit celah bagi mereka untuk tampil lebih berani di hadapan khalayak. “Biasanya mereka berpraktek di Burgemeester Bisschopplein, di Logeplantsoen atau di Lembangmeer, jadi di tempat-tempat umum yang letaknya di tengah-tengah wijk (kampung) Menteng, yang terkenal sebagai wijk Belanda yang paling bagus,” tulis Siasat, 20 Mei 1951.
Mengetahui banci tampil terang-terangan, polisi mengadakan razia. Banci berlarian ke sana-sini menghindari razia. Toh, akhirnya delapan banci tertangkap juga. Penangkapan itu jadi berkah tersembunyi bagi mereka. Kuli tinta mewawancara mereka di kantor polisi, bermaksud mengudar kehidupan pelik mereka.
Dan banci mulai bercerita tentang diri mereka. Bukan hanya sebagai lelaki berpakaian perempuan, melainkan juga sebagai lelaki berjiwa perempuan. Mereka mengaku terperangkap dalam tubuh laki-laki.
“Kebanyakan dari para banci itu menyatakan bahwa kebanciannya itu telah terasa sejak mereka masih kecil. Inilah menyebabkan bahwa mereka tidak pernah mengenal perasaaan sebagai lelaki,” tulis Siasat. Secara seksual, orientasi mereka tertuju pada lelaki. Bukan perempuan. Hanya sedikit banci memilih berhubungan seks dengan perempuan.
Banci mencoba jujur menunjukkan identitasnya pada keluarga. Berharap keluarga mau mengerti mereka. Mendengar pengakuan itu, keluarga marah. Tak menerima kenyataan, keluarga mengusir banci-banci dari rumah.
Banci kehilangan pendidikan, pekerjaan, dan tempat berlindung. Membaur ke masyarakat pun sulit. Masyarakat memberondong mereka dengan sumpah serapah. Menghina mereka dengan memelesetkan banci sebagai bandule cilik (testisnya kecil). Lain waktu, masyarakat mengaitkan banci dengan kepengecutan.
Banci pun terpojok di sudut kehidupan. “Penghidupan para banci itu sangat sulit pula akibat gencetan ekonomi dan sosial,” tulis Siasat. Untuk bertahan hidup tanpa pendidikan dan keahlian memadai, mereka menerapkan strategi sederhana: menjual tubuh di jalanan. Dan jalanan membentuk solidaritas antarbanci. Kuat dan guyub.
Banci bertemu, saling membantu, dan bahkan membuat bahasa baru untuk kalangan mereka di jalanan. Mereka menilai kata “banci” sangat menyakitkan. Sebab “banci” sudah jadi bahan ejekan. Mereka sepakat memperkenalkan istilah baru untuk menyebut diri mereka: bencong. Pergeseran dari “banci” dengan menambahkan sisipan –e dan akhiran –ong.
Istilah bencong menguat pada dekade 1960-an, sejalan dengan pertumbuhan populasi banci.
Benedict Anderson, seorang peneliti muda asal Amerika Serikat dan kelak menjadi Indonesianis terkemuka di dunia, menjadi saksi mata pertumbuhan bencong pada awal 1962.
“Dan kalau jalan-jalan pada malam hari di Jakarta, sering juga terlihat banci-banci berkeliaran yang betul-betul cantik. Dan sering setengah kelakar dipuji kecantikannya oleh teman-teman saya yang wanita,” tulis Benedict Anderson.
Waria dalam berita majalah Siasat, 20 Mei 1951.
Empat Kelompok Bencong
Mengetahui populasi bencong tumbuh pesat pada pengujung era 1960-an, pemerintah daerah Jakarta mendata mereka. “Di Jakarta terdapat 15.000 banci,” tulis Kompas, 15 Agustus 1968, mengutip keterangan pemerintah.
Bencong di Jakarta terdiri atas empat kelompok. “Bencong abadi dan bencong separuh… bencong bantet (bencong gagal)… bencong single fighter… bencong yang bersembunyi...,” tulis Djaja, 2 November 1968. Masing-masing mempunyai ciri khas.
Kelompok bencong abadi berciri mengenakan busana perempuan dalam keseharian. Bencong separuh hanya memakai busana perempuan pada waktu tertentu. Bencong bantet biasanya layu sebelum berkembang dan kembali jadi lelaki. Bencong terselubung pandai menutupi kebencongannya.
Orientasi seksual kelompok bencong itu beragam. Mereka tak selalu berhubungan seks dengan lelaki. Kadang kala juga masih mau berhubungan seks dengan perempuan. Biasanya ini terjadi pada kelompok bencong separuh dan bencong bantet.
Kelompok bencong penuh dan terselubung hanya memiliki orientasi seksual terhadap lelaki. Kelompok ini memosisikan dirinya sebagai perempuan. Dan mereka menyebut suaminya sebagai lekong (pergeseran dari kata “laki”).
Menganggap bencong tetap sebagai lelaki, khalayak sering menyamakan bencong dengan homoseksual. Bencong menolaknya mentah-mentah. “Pada umumnya para bencong menarik garis pemisah yang tegas dengan golongan homo dan merasa tidak senang kalau dinamakan homoseksuil… Seorang homo tidak berjiwa wanita, sedangkan bencong berjiwa wanita dan mempraktekkan cara-cara kewanitaan,” tulis Djaja, 9 November 1968.
Latar belakang bencong juga sangat berwarna. Ada bencong hanya tamatan sekolah dasar dan berasal dari keluarga miskin. Mereka biasanya hidup dari jalanan.
Bencong lain justru lahir dari keluarga kaya sehingga berkesempatan mengenyam pendidikan hingga universitas. Mereka menggunakan modal dan kemampuannya untuk membuka salon atau bekerja kantoran. Meski mereka harus menutupi identitasnya.
Kategori-kategori bencong ini terungkap dalam laporan khusus Djaja sepanjang Oktober—November 1968. Laporan ini bertujuan menjelaskan identitas, peran, dan posisi bencong di Indonesia. Djaja berharap khalayak mampu memahami bencong dan pemerintah bisa mengatasi masalah perbencongan dengan bijak.
Shuniyya Ruhama Habiiballah, penulis buku Jangan Lepas Jilbabku: Catatan Harian Seorang Waria (2005).
Dari Bencong Menjadi Wadam
Kenyataan di lapangan berbeda. Khalayak masih memukul rata semua bencong. Pemerintah tetap menggelar razia sporadis nirkoordinasi. Tanpa menyentuh akar masalah bencong. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta, akhirnya turun tangan.
Ali Sadikin mengumpulkan, menemui, dan mengajak bicara para bencong pada akhir 1968. “Mereka juga manusia, dan mereka juga penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka juga,” kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta karya Ramadhan KH.
Bencong merasa terhormat bisa bertatap muka dengan gubernur. Harapan mereka menguar. “Saya minta kepada Pak Ali supaya pada suatu waktu dikeluarkan seruan kepada masyarakat supaya bencong-bencong diterima sebagaimana adanya,” kata seorang bencong.
Ali Sadikin berpikiran bencong harus berdaya guna, menggali potensinya, berpendidikan, dan bekerja secara halal. Mereka tak boleh melacurkan diri. “Tapi tidak gampang mendapatkan lapangan kerja. Sudahlah, asalkan mereka tidak terlalu mencolok, sudah bagus,” kata Ali Sadikin.
Usai bertemu para bencong, Ali Sadikin mengajukan istilah baru untuk menyebut mereka. Wadam alias wanita adam. “Istilah pertama tanpa nada penghinaan untuk banci,” tulis Tom Boellstorff. Ali Sadikin juga membolehkan wadam mengelola sebuah bar, Paradise Hall, saat Jakarta Fair berlangsung di Jakarta.
“Belum lama berjalan, Paradise Hall terpaksa ditutup. Ia bangkrut karena kurang pengunjung. Sejak itu para waria kembali berkeliaran ke mana-mana, mencari nafkah,” tulis Kemala Atmojo dalam Kami Bukan Lelaki. Sebagian wadam kembali ke jalur prostitusi. Lapangan Banteng, Monas, Taman Surapati, dan Taman Lawang menjadi pangkalan mereka.
Wadam lain berusaha menjadi penghibur dengan ikut kontes Miss Wadam. Kontes ini memunculkan banyak wadam penghibur profesional. Mereka manggung di hotel dan klub malam secara perorangan atau kelompok.
Wadam penghibur cepat memperoleh popularitas. Bayaran mereka tinggi. Kebutuhan sehari-hari pun terpenuhi. Tapi mereka tak lupa diri. Mereka masih memikirkan nasib rekannya di jalan.
“Menurut para wadam sendiri, satu-satunya jalan untuk mengurangi berkeliarannya wadam-wadam tersebut ialah dengan menampungnya dalam satu wadah yang mempunyai aktivitas-aktivitas kreasi-kreasi sehat,” tulis Vista No. 13, Februari 1970.
Tanpa menunggu uluran pihak lain, wadam mewujudkan sendiri kebutuhannya. Mereka membentuk Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) pada 1973. Ketuanya Maya Puspa. Dia wadam tersohor di Jakarta lantaran prestasi dan kepekaan sosialnya. Hiwad bertujuan memperjuangkan hidup layak bagi wadam. Antara lain dengan pelatihan salon, mendandani orang, menjahit, dan merancang busana.
Hiwad berubah nama jadi Himpunan Waria (Hiwaria) pada 1978. Ini berkaitan keberatan Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara pada istilah wadam. Sebab, menyinggung nama Nabi Adam dan Hawa, istrinya. Presiden Soeharto pun setuju mengganti istilah wadam jadi waria.
Perubahan istilah tak mendatangkan perbaikan nasib bagi kebanyakan waria. Mereka tetap meringkuk di sudut kehidupan. Bahkan razia waria muncul lagi. Kian hari, kian gencar.
Waria berlarian. Beberapa melawan. Dan harganya sungguh mahal: nyawa. Dua waria, Susi dan Iin, tenggelam di kali dekat Taman Lawang pada 1979.
Kematian Susi dan Iin mengobarkan api perjuangan kaum waria lebih nyala. Mereka enggan mengemis pada pemerintah dan khalayak. Mereka memilih memperjuangkan sendiri hak-hak hidupnya. Dan perjuangan itu selalu memunculkan tokoh-tokoh penggerak. Dari Maya Puspa sampai Mami Yulie.
“Perjuangan kami belum selesai. Kami tak mengejar soal pernikahan waria. Kami hanya berjuang merebut hak-hak dasar kami. Itu saja,” kata Mami Yulie kepada Historia. Maka, dia mendorong waria agar berpendidikan.
“Pendidikan alat perjuangan terbaik bagi kami untuk meraih tempat. Ini sudah terbukti,” tutur Mami Yulie. Khalayak mulai mengakui makna kehadiran Mami tanpa melihat gendernya. Satu harapan terang bagi waria lain.*