Keramaian jemaah haji di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta sebelum berangkat ke Makkah, 10 Juli 1950. (ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
WAHID Hasyim masih ingat perkataan Sumanang, anggota Senat Republik Indonesia Serikat yang juga seorang wartawan di Yogyakarta pada 1947: satu hal yang ingin dilakukannya setelah Indonesia merdeka 100% adalah menjalankan ibadah haji ke Makkah. Namun, Sumanang melihat kondisi jemaah haji Indonesia sangat menyedihkan. Padahal berkumpulnya jemaah haji dari seluruh dunia di Makkah baginya ibarat Kongres Islam Sedunia. “Kualitas mereka, baik lahir maupun batinnya, tidaklah dapat dipuji untuk menjadi wakil Indonesia di dalam Kongres Islam Sedunia.”
Wahid Hasyim mengutip pernyataan Sumanang itu dalam tulisannya “Perbaikan Perjalanan Haji”, yang kemudian masuk dalam antologinya Mengapa Memilih NU? Hasyim juga melihat kenyataan itu karena anggota jemaah haji Indonesia umumnya orang dari lapisan bawah yang agak mampu tapi kurang pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Akibatnya, mereka menjadi sasaran calo dan para pemeras sejak berada di kapal maupun di Tanah Suci. Dan sebagai menteri agama, persoalan ini harus mendapat perhatiannya.
WAHID Hasyim masih ingat perkataan Sumanang, anggota Senat Republik Indonesia Serikat yang juga seorang wartawan di Yogyakarta pada 1947: satu hal yang ingin dilakukannya setelah Indonesia merdeka 100% adalah menjalankan ibadah haji ke Makkah. Namun, Sumanang melihat kondisi jemaah haji Indonesia sangat menyedihkan. Padahal berkumpulnya jemaah haji dari seluruh dunia di Makkah baginya ibarat Kongres Islam Sedunia. “Kualitas mereka, baik lahir maupun batinnya, tidaklah dapat dipuji untuk menjadi wakil Indonesia di dalam Kongres Islam Sedunia.”
Wahid Hasyim mengutip pernyataan Sumanang itu dalam tulisannya “Perbaikan Perjalanan Haji”, yang kemudian masuk dalam antologinya Mengapa Memilih NU? Hasyim juga melihat kenyataan itu karena anggota jemaah haji Indonesia umumnya orang dari lapisan bawah yang agak mampu tapi kurang pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Akibatnya, mereka menjadi sasaran calo dan para pemeras sejak berada di kapal maupun di Tanah Suci. Dan sebagai menteri agama, persoalan ini harus mendapat perhatiannya.
Mengubah perilaku jemaah haji tentu tak mudah. Tapi itu tetap menjadi salah satu programnya dalam mengelola urusan haji. Hasyim justru melihat yang mungkin dijalankan adalah, “mencerdaskan calon-calon haji yang mengatur perjalanannya sedemikian rupa, hingga tidak terdapat hal-hal yang buruk dan mengecewakan di dalamnya,” tulisnya. “Dan ini pulalah yang sekarang diusahakan oleh Kementerian Agama beserta Panitia Haji Indonesia.”
Panitia Haji Indonesia (PHI) dibentuk pada 21 Januari 1950 dengan ketua KHM Sudjak. PHI merupakan satu-satunya lembaga resmi penyelenggara haji. Kantor-kantor perwakilannya berdiri di setiap keresidenan.
Sejak menjabat menteri agama, setelah melakukan pembenahan di kementeriannya, Hasyim mulai memperhatikan secara serius urusan haji. Selain memperbaiki tata kelola penyelenggaraan haji, dia mulai memberlakukan sistem kuota. Selain untuk memberi kesempatan yang sama pada peminat dan keterbatasan devisa negara, kebijakan ini juga mengikuti permintaan Arab Saudi yang mengalami kesulitan memenuhi fasilitas pemondokan.
“Pada tahun 1950, tahun pertama berlakunya peraturan tersebut, pembatasan jumlahnya adalah 10.000. Sedangkan jumlah yang mendaftar dua kali banyaknya,” tulis Kees van Dijk, “Perjalanan Jemaah Haji Indonesia”, termuat dalam Indonesia dan Haji.
Masalah Pengangkutan
Pada 1951, Hasyim tersandung masalah. Dia sudah mendapatkan kapal-kapal Kongsi Tiga dan Inaco untuk pemberangkatan haji. Namun, masih ada sekira tiga ribu jemaah yang tak dapat kapal. Hasyim pun melawat ke Jepang dan mendapatkan kapal milik maskapai Osaka Sissen Kaisha. Namun ternyata kapal yang ditunggu tak datang jua karena persoalan kontrak. Sebagian jemaah gagal berangkat. Parlemen menjadikan isu ini untuk mengajukan interpelasi, yang diusulkan Amelz dari Fraksi Masyumi. Bahkan muncul tudingan bahwa Hasyim korupsi –hal yang tak pernah bisa dibuktikan.
Interpelasi itu merupakan tindak lanjut dari resolusi Sidang Tanwir I Muhammadiyah pada Agustus 1951. Isinya, dikutip Syarifuddin Djurdi dalam 1 Abad Muhammadiyah, meminta pemerintah mengembalikan jemaah calon haji yang gagal berangkat ke tempat masing-masing dan mengganti kerugian sekaligus membentuk komisi untuk menyelidiki masalah ini.
Pemerintah mengabulkan sebagian isi resolusi, bahkan memberikan hak naik haji bagi yang gagal di tahun berikutnya. Namun pembentukan komisi penyelidik ditiadakan.
Hasyim memilih melepaskan jabatan. Ditengarai penyebabnya adalah pertarungan politik di tubuh Masyumi. Tak lama kemudian, ketika Wilopo membentuk kabinet, NU merasa ditinggalkan ketika pos menteri agama jatuh ke tangan Fakih Usman dari Muhammadiyah. NU pun memutuskan keluar dari Masyumi.
Belajar dari pengalaman, Fakih Usman menyetujui hasil Konferensi PHI pada 1952 yang membentuk PT Pelayaran Muslim. Perusahaan ini akan jadi satu-satunya yang melayani transportasi haji. Selain itu, pemerintah juga membuka kesempatan pengangkutan haji menggunakan kapal udara, tentu dengan tarif lebih mahal dua kali lipat.
Garuda Indonesian Airways menjajal bisnis jasa pengangkutan haji dengan pesawat udara. Pada Juni 1956, untuk kali pertama Garuda mengoperasikan penerbangan haji dengan membawa rombongan ke Tanah Suci dengan pesawat Convair-340.
Melihat ceruk bisnis yang lebar, A.K. Gani yang pernah jadi menteri di era sebelumnya coba memasukinya dan siap bersaing dengan Garuda. Setelah dua tahun berjuang mendapatkan izin pemerintah, dia mendirikan Pioneer Aviation Corporation bersama Dave Fowler, orang Amerika yang pernah membantu menerobos blokade Belanda di masa revolusi. Gani jadi direkturnya, sementara Fowler kepala departemen teknik. Ternyata pangsa pasarnya masih kecil. Gani pun beralih ke dunia film. (Baca: Banteng Bersayap versus Garuda).
Tarif yang mahal membuat jemaah haji lebih memilih sarana laut. Sarana pengangkutan udara hanya diminati oleh 293 jemaah haji pada 1952. Berdasarkan catatan Kementerian Agama yang dimuat dalam Management The Hajj of Indonesia, jumlah jemaah haji udara tak meningkat signifikan hingga tahun 1958 dan hal ini membuat penggunaan transportasi udara ke Tanah Suci dihentikan.
Monopoli
Pada 1962, demi meningkatkan profesionalitas, pemerintah membubarkan PHI dan sebagai gantinya membentuk Panitia Pemberangkatan dan Pemulangan Haji (PPPH). Panitia ini punya wewenang penuh dan mandiri, lepas dari campur tangan Departemen Agama. Namun, dua tahun kemudian, merasa sudah mampu mengelola sendiri, pemerintah mengambil alih kewenangan itu dan menyerahkannya kepada Menteri Urusan Haji Farid Ma’ruf dari Muhammadiyah dan para deputinya, sementara pelaksananya adalah Dirjen Urusan Haji (DUHA).
Perubahan itu dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Berdasarkan Keppres itu pula, pemerintah membentuk PT Arafat sebagai satu-satunya perusahaan pelayaran yang mengangkut jemaah haji. Saham perusahaan ini dimiliki jemaah dan karyawan PT Arafat. Pemerintah berharap pengelolaan haji juga memberi manfaat secara ekonomi bagi jemaah hajinya. Sejak 1965 kapal-kapal Arafat mulai berlayar ke Tanah Suci. (Baca: Tenggelamnya Arafat).
Menurut Chunaini Saleh dan Ahmad Baedowi, dengan menteri urusan haji menangani langsung, sistem manajemen dan penetapan kebijakan menjadi lebih fleksibel serta pendelegasian kendali ke unit-unit di bawahnya lebih efektif. Sementara subbagian unit kerja mendapat wewenang khusus untuk bertindak sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan ibadah haji. “Dan pola itulah yang kemudian terus dikembangkan pada masa Orde Baru,” tulis mereka dalam Penyelenggaraan Haji Era Reformasi.
Monopoli dapat dengan mudah mengarahkan pada korupsi dan inefisiensi.
Di masa Orde Baru, tak ada lagi menteri urusan haji. Wewenang penyelenggaraan haji dialihkan ke DUHA hingga 1979. Perubahan lainnya, melalui Keppres No. 22 Tahun 1969, pemerintah memproses dan mengurus seluruh rangkaian pelaksanaan penyelenggaraan haji. Kritik pun datang atas monopoli pemerintah ini. Salah satunya datang dari Sjafruddin Prawiranegara, ketua Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (Husami). Seperti dikutip Shari’a and Politics in Modern Indonesia yang disunting Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Sjafruddin percaya bahwa monopoli dapat dengan mudah mengarahkan pada korupsi dan inefisiensi. Monopoli juga menghilangkan hak kaum muslim untuk memilih agen-agen yang mungkin bisa memberikan pelayanan lebih baik dengan biaya rendah.
Sjafruddin menginginkan agar perusahaan swasta bisa bersaing dengan pemerintah, meski harus ada lembaga yang dibentuk untuk mengawasi persaingan itu. Dia percaya, sistem monopoli akan membuat Departemen Agama lebih menjadi perusahaan komersial ketimbang lembaga yang melayani kepentingan publik.
Pemerintah punya alasan sendiri. Menurut Bunga Rampai Perhajian II yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, monopoli dilakukan karena maraknya calo-calo dan kegagalan badan swasta untuk memberangkatkan jemaah haji.
Era Haji Udara
Selain monopoli atas penyelenggaraan haji, Keppres No. 22 Tahun 1969 juga mendorong pengangkutan jemaah haji dengan pesawat udara. Yang ditunjuk adalah Garuda Indonesia. Sebanyak 375 orang jemaah memanfaatkannya. Berdasarkan data Departeman Agama dalam Management The Hajj of Indonesia, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tak heran jika keberlangsungan PT Arafat mulai suram dan lalu mati.
Ketika orang mulai beralih naik pesawat, terjadi peristiwa tragis. Pesawat udara Martin Air yang mengangkut jemaah haji pada 1974 mengalami kecelakaan di Colombo, Srilanka (Baca: Berakhir di Perawan Tujuh) dan terulang lagi pada 1978 pada pesawat Loftleider Icelandic (Baca: Tragedi yang Terulang).
Namun, peristiwa ini tak menghalangi niat pemerintah untuk menghapus haji laut pada 1979 dan menetapkan penggunaan pesawat. Penyebabnya, selain karena PT Arafat pailit, banyak calon jemaah haji gagal berangkat. Kapal laut juga tak selalu aman. Terbukti dari kecelakaan yang menimpa beberapa kapal Arafat. Pelaksanaan haji udara dimonopoli perusahaan penerbangan nasional PT Garuda Indonesia; baru pada 1999 mengikutsertakan maskapai penerbangan lain, Saudi Arabian Airlines.
Pada 1979 terjadi juga perubahan struktur organisasi dan tata kerja di Departemen Agama. Penyelenggaraan haji dilakukan panitia di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji (Dirjen BIUH), hingga kini.
Keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan haji dihentikan pemerintah pada 1981. Empat tahun kemudian pemerintah menggandeng lagi pihak swasta. Tata kelola haji terus diperbaiki, termasuk pelayanan selama penyelenggaraan haji. Salah satu yang kerap masih jadi sorotan adalah soal jarak pemondokan dengan tempat beribadah haji.
Menurut Nursamad Kamba, mantan Atase Haji Indonesia di Jeddah, perjanjian bilateral Indonesia dengan Arab Saudi terus diperbarui dari tahun ke tahun namun tak sepenuhnya mengakomodasi keinginan Indonesia. Artinya, “Ini tergantung pada kemampuan pemerintah Indonesia memiliki bargaining power dengan pemerintah Arab Saudi tentang penyelenggaraan haji,” ujarnya.